BLORANEWS – Kenangan akan Raja paling kharismatik tanah Jawa, Erlangga, begitupun keajaiban Wurawari, sudah lama menghilang dari ingatan orang Jawa. Dan tetap seperti itu ketika sebuah Prasasti ditemukan oleh Sir Thomas Raffles di tahun 1812. Bahwa prasasti ini kemudian dibawa menuju India dan kemudian tetap diabaikan oleh Museum Calcutta karena telah ditulis dengan huruf kuno Jawa. Baru kira-kira seabad kemudian, Dr. K. F. Halte mendengar kabar tentang batu bertulis ini untuk mendapati kedua gambarnya, dan mengirimnya kepada Prof. Dr. H. Kern. Oleh Kern prasasti ini diterjemahkan, dan menerangkan pada sebuah jurnal di tahun 1909 bahwa ternyata isi prasasti Calcutta ini memuat berita paling penting bagi sejarah Jawa.
Sejarah yang dimaksud adalah keadaan Jawa di permulaan milennium kedua, melalui bait-bait puji terhadap seorang Raja Jawa bernama Erlangga. Rupanya ia hidup di zaman peralihan Jawa, dimana itu tersirat dari bagaimana pujangga Prasasti ini mendeskripsikan petualangan-petualangan yang tidak rinci, berusaha untuk menghindari kata-kata dalam bahasa Jawa asli, dan bahkan nama Erlangga kadang-kadang disansakertakan sebagai Jalalangga atau Niralangga. Awal kemunculannya dikisahkan berbarengan dengan peristiwa bencana besar yang mengubah raut muka pulau Jawa.
Menurut Kern, baris ke-5 dari prasasti berbunyi:
n hana ista prarthana sri maharaja ri kala ning pralaya ring yawadwipa, irikang sakakala 928 mra – – haji wurawari an mijil sanke lwaram ekarnawa rupa nikang sayawadwipa rikang ka
Yang artinya:
… ada keinginan dan pengharapan dari Sang Raja Agung saat bencana besar di pulau Jawa tahun 928 Saka – – Aji Wurawari ketika keluar dari Lwaram, seluruh Jawa pada saat itu tampak seperti lautan …
Dari baris tulisan ini kemudian memunculkan berbagai dugaan tentang peran dan siapa sebenarnya tokoh Aji Wurawari dari Lwaram ini terhadap Raja Erlangga.
Dari baris ke-6 menyebutkan bahwa Sang Raja Agung Jawa memiliki harapan besar agar pralaya itu segera berakhir karena banyak orang terkemuka meninggal dunia, akan tetapi sang Raja Darmawangsa itu akhirnya meninggal dunia setahun kemudian (929 Saka atau 1007 Masehi).
Menurut penafsiran Rouffaer (Was Malakka emporium voor 1400 A.D, genaamd Malajoer? En waar lag Woerawari, Mahasin, Langka, Batoesawar?, 1921), secara penamaan, Wurawari diduga sama dengan daerah Langka, atau Galuh, atau Johor, sehingga berasumsi bahwa Aji Wurawari harusnya memiliki keterkaitan dengan kerajaan terkuat Sriwijaya. N. J. Krom (Hindoe-Javaansche Geschiedenis, 1926) menambahkan bahwa Aji Wurawari dari Lwaram yang harus disalahkan karena menyerang Kerajaan Medang sehingga Darmawangsa terbunuh. Tetapi, bukankan prasasti yang dibuat tahun 1041 ini dibuat tidak untuk kepentingan propanda perpecahan di masa peralihan Jawa?
Sesuai dengan bahasa Jawa Kuno, bahwa wura = suddha, hening (murni, jernih, bersih), wari = warih (air, air kelapa), maka Wurawari dapat berarti air murni yang jernih, yang pasti dicari oleh Raja Darmawangsa untuk dapat menentramkan Jawa yang dilanda bencana (lautan susu). Lwaram harusnya sebuah wilayah yang berada di tengah wilayah bagaimana pralaya itu terjadi, antara Medang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lwaram identik dengan Loram atau Ngloram, sebuah daerah pertengahan antara Hulu dan Hilir Bengawan Sedayu, yang juga berada di perbatasan antara bagian Tengah dan Timur Jawa, yang sekarang berada di ujung lingkup wilayah Kabupaten Blora.
Dua huruf yang hilang sebelum kata Aji, sering kali dilupakan, tetapi jika itu untuk menegaskan bahwa ‘seorang Aji pemilik Wurawari’, maka tidak menjadi berlebihan jika Wurawari dimaknai sebagai lambang dari apa yang dicari oleh Erlangga atas keinginan Darmawangsa untuk menentramkan Jawa. Salah satu karya agung di masa kejayaan Erlangga adalah Kakawin Arjunawiwaha, dimana Arjuna harus berjuang melawan raksasa Niwatakawaca untuk menyelamatkan istrinya, Subhadra. Arjuna juga telah berhasil mengambil Air Amrta untuk menghidupkan dewa-dewa yang sudah mati yang mendukungnya selama perjuangannya. Jika Arjunawiwaha juga merupakan syair-syair pujangga Hindu untuk menyepandankan seorang Raja Erlangga dengan sosok Pandawa paling menawan, Arjuna, maka keberhasilan itu adalah sebagai simbol kedewasaan Erlangga untuk bisa mendapatkan ‘air suci’ Budha harapan Sang Raja Agung, sebagai sarana penghapus pralaya pulau Jawa, dan juga untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa ksatria dan pelindung Kerajaan Medang sepeninggalnya
Er adalah kata bahasa Jawa untuk air, dan langga artinya ‘minum dengan cara meneguk langsung dari kendi’ atau ‘menyesap’. Sehingga nama Erlangga berarti ‘ia yang menyesap air’, yang dalam hal ini bisa juga berarti ‘ia yang berhasil meneguk langsung air kehidupan’ dari tempatnya, dan tanpa perantara.
Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati sejarah dan budaya yang kini berkecimpung di Dewan Kebudayaan Blora (DKB).
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com