Blora gudangnya tokoh fenomenal adalah bukti sejarah. Mulai dari Raja Wurawari ( penguasa Ngloram, penakluk Teguh Dharmawangsa awal abad XI), Aryo Penangsang (Adipati Jipang, yang juga musuh bebuyutan Sultan Hadiwijoyo abad XVI), Jati Kusumo dan Jati Swara (Sunan Janjang, yang juga adik Sultan Pajang, sakti mandraguna dan penyebar agama Islam).
Selanjutnya, Noyo Gimbal (pemimpin perjuangan rakyat anti penjajah dari Bangsri, Jepon), Samin Surosentiko (pelopor ajaran Sikep), Tirto Adhi Soerjo (tokoh pers dan kebangkitan nasional), Pramoedya Ananta Toer (sastrawan 41 bahasa), SM Kartosoewirjo (tokoh kunci DI/TII), Ali Moertopo (aktor intelektual Orba), Mukti Ali (menteri agama yang ahli perbandingan agama).
Fakta sejarah ketokohan mereka adalah nyata dan secara mekanis bahkan otomatis direplikasi dari generasi ke generasi.
Topografi Blora yang diapit Pegunungan Kendeng Utara dan Pegunungan Kendeng Selatan, luasnya belantara hutan, tanah berkapur dan ketersediaan air yang terbatas, menjadikan wilayah ini pada tempo dulu merupakan “wilayah antara” yang semi terisolir dan berdiri sebagai sub kultur yang khas.
Secara umum, Blora memiliki karakter budaya pedalaman yang agraris. Berbeda dengan kawasan pesisiran yang berbudaya lebih terbuka dan lebih agresif.
Kondisi ini, mencetak masyarakat Blora berkarakter ‘lembam’. Pendeknya, kondisi ini memunculkan tokoh yang mampu mengambil sikap dan memerdekaan dirinya dan mampu membuat lompatan yang jauh, melampaui kemampuan rata-rata manusia di sekelilingnya.
Kemunculan Warsit sebagai tokoh lokal tahun 2000-an merupakan fenomena kebudayaan yang khas Blora. Dengan pendidikannya yang terbatas dan lingkungan sosialnya yang jauh dari hiruk pikuk kota Blora, membuat Warsit gagal atau mungkin frustasi meniti karier sebagai pendidik.
Akan tetapi, saat dunia politik menyediakan pintu masuk, dengan gesit Warsit mampu menerobos dan merebut kursi paling terhormat di Jalan Ahmad Yani (DPRD Blora).
Hanya dengan beberapa loncatan, Warsit telah berubah. Sebelumnya, Warsit bukanlah siapa-siapa. Tiba-tiba, pria ini menjadi tokoh paling pengkoh sekaligus licin di kabupaten ini. Bahkan, jika dibanding dengan bupati sekalipun. Tentu saja, dengan modal keberanian dan ke-nekad-an.
Rekam jejak kedigdayaan Warsit bisa dibaca dari liputan media di dekade 2000-an. Serta, dalam ingatan banyak orang yang pernah berinteraksi langsung dengan pendekar dari Blora selatan ini.
Saya tidak ingin ikut berpolemik tentang pencoretan Warsit sebagai bacaleg oleh KPUD, tetapi setidaknya ada dua cacatan penting yang perlu digaris-bawahi.
Pertama, partai pengusung Warsit menunjukkan kecerdasannya mengajak serta petarung yang sudah sangat teruji.
Kedua, andai Warsit bisa lolos kembali ke kursi DPRD Blora, konstalasi politik di Blora pasti akan kembali bergeliat, tergoncang, tidak terprediksi.
Salam hormat untuk Pak Warsit !
Penulis : Abahe Genduk