Alun-alun merupakan ruang terbuka yang berada di tengah-tengah kota-kota kuno Jawa, dan keberadaannya selalu terkait erat dengan sejarah kotanya. Struktur ruang kota yang menjadikan alun-alun sebagai sebuah elemen terpenting merupakan warisan zaman kerajaan di Jawa (Majapahit, Mataram Islam, Yogyakarta, dan Surakarta), yang kemudian dikembangkan oleh Hindia Belanda dengan menciptakan tipologi kota Jawa, tak terkecuali kota Blora.
Gambar 1.
Dalam tata ruang awal kota Blora, selain Pendopo, alun-alun merupakan salah satu elemen terpenting; sebagai pusat kegiatan dan telah menjadi landmark kota. Mengikuti kaidah pola mancapat – mancalima, maka secara fisik, alun-alun Blora berupa tanah lapang yang luas dan berbentuk persegi, mendekati bujur sangkar. Di tengah-tengah alun-alun terdapat pohon beringin besar yang dapat memberi suasana teduh dalam aksentuasi ruang lapang, sebuah pohon yang juga melambangkan kehidupan. Seputar alun-alun berdiri bangunan-bangunan penguasa seperti kabupaten, asisten residen, pasar, juga tempat ibadah.
Alun-alun kota Blora pada awalnya berupa tanah lapang yang tinggi (Pojok) atau bisa juga sebuah sitihinggil kuno, yang terbuka dan bebas; dan baru menemui bentuknya setelah Tumenggung Prawirayuda (1820 M), Bupati Blora, tampak meletakkan batu pertama pembangunan Pendopo sekaligus memindahkan bangunan kabupaten dari daerah Nglangitan (Mbengir) ke arah selatan menuju ‘embrio’ alun-alun, dimana sudah sejak lama di sebelah selatan dan barat ruang terbuka itu banyak terdapat makam yang lebih tua.
Seperti kota-kota lainnya di Jawa, dimana letak kabupaten selalu memangku alun-alun, membelakangi gunung dan menghadap air laut, maka di Blora, bangunan kabupaten membelakangi gunung Kendeng (Kulur) di utara dan menghadap sungai Lusi di sebelah selatan. Seperti yang diketahui, letak Masjid Agung Blora berada di sisi barat Alun-alun, dan sekaligus menguatkan dugaan bahwa Kolonial Belanda benar-benar mengadopsi sistem tata kota Keraton Yogyakarta untuk kota-kota Kabupatennya.
Gambar 2.
Sebagaimana tata kota kerajaan Jawa, terutama Mataram Islam yang menganggap poros Utara – Selatan sebagai sumbu aksis terkuat, sumbu spiritual dan sumbu kelanggengan dinastinya, sekaligus poros yang merupakan proses kehidupan manusia menuju keabadian, maka Pendopo Kabupaten Blora diletaklan berada di sebelah utara Alun-Alun Blora, segaris dengan kediaman Asisten Residen (gedung Polsek Kota) Blora dan juga Pasar Lama. Sedangkan poros Timur – Barat alun-alun, berjejer bangunan dengan arsitektur campuran Eropa dan Cina khas Lasem, dihuni pejabat tinggi kebangsaan Eropa dan Cina, mengindikasi sebuah wilayah dengan ruang-ruang dengan hubungan ekonomi, politik, pemerintahan, yang akrab sekaligus keramat.
Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com