fbpx
OPINI  

TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DI BLORA, ALARM RENDAHNYA KETAHANAN KELUARGA

TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DI BLORA, ALARM RENDAHNYA KETAHANAN KELUARGA
Ilustrasi Perceraian

Miris, sepanjang tahun 2022 dari bulan Januari hingga akhir November ini, ada 1.542 janda baru di Blora. Jumlah itu berasal dari angka gugatan perceraian yang telah divonis oleh majelis hakim pengadilan agama(PA) Blora. Jumlah yang banyak itu tak terlepas dari angka perceraian di kota Sate menembus 1.809 perkara. (23/11/2022)

Menurut Panitera Muda PA Blora Fathul Huda, laporan perceraian yang masuk di kantor sampai November lebih banyak karena cerai gugat sebanyak 1.240 perkara, sisanya cerai talak 569 perkara. Dari pemeriksaan, rerata disebabkan faktor ekonomi yang menjadi pangkal utama perceraian terjadi.

Lebih lanjut, terungkap juga angka perceraian tinggi  tidak hanya terjadi di Blora saja. Namun secara menyeluruh data perceraian keluarga Indonesia terus meningkat seolah menjadi tren perceraian.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS),  dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja. ( 19/09/2022)

Belum lagi jumlah penduduk non Islam yang terdata inkrah perceraian, jika dijumlahkan seluruhnya angka perceraian telah menyentuh 580 ribu kasus per tahun.

Jumlah yang cukup fantastis ini tentu mengundang keprihatinan berbagai kalangan. Terlebih perceraian terjadi pada mereka pasangan muda dan ditelusuri dominan alasan perceraian adalah faktor ekonomi. Selain itu tidak harmonis, cemburu, tidak bertanggung jawab dan hadirnya pihak ketiga.

Tingginya angka perceraian di masyarakat ini menandakan bahwa ketahanan keluarga di Indonesia masih cukup rentan. 

Rentannya ketahanan keluarga berimbas pada pengaruh kualitas keluarga. Keluarga tidak lagi harmonis sehingga rawan terpicu oleh problem-problem kecil. Sekecil apapun persoalan yang muncul kemudian membola, hingga menjadi bom waktu.

‘Baiti jannati’ seolah hanya impian yang susah digapai. Padahal keluarga adalah unit terkecil pembangun generasi yang berkarakter mulia. Jika ini dibiarkan, melemahnya ketahanan keluarga akan menjadi ancaman serius bagi kemajuan peradaban. Untuk itu, diperlukan upaya lebih serius lagi mengurai akar permasalahan mendasar penyebab rendahnya ketahanan keluarga demi menyelamatkan kehidupan keluarga sebagai unit terkecil pembangun peradaban.

Faktor penyebab Rendahnya Ketahanan Keluarga

Jujur saja, saat ini ketahanan keluarga di Indonesia memang sangat dirasakan rapuh. Institusi keluarga tidak lagi menjadi lembaga sakral. Buktinya tidak sedikit pasangan hidup yang memandang bahwa perceraian dijadikan solusi ketidakharmonisan keluarga. Padahal beberapa periode lalu perceraian masih dianggap puncak kegagalan berumah tangga.

Bergesernya pemikiran pada masyarakat tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari cara pandang tentang kehidupan. Saat ini, gempuran pemikiran hedon, permisif, gaya hidup individual dan konsumtif telah menjangkit generasi muda, yang disadari atau tidak  sangat memengaruhi pola relasi dalam keluarga.

Selain itu, pemikiran membahayakan lainnya yang sangat berpengaruh terhadap rentannya ketahanan keluarga adalah perempuan terjangkit ide feminisme, kesetaraan gender. Hal tersebut dapat dilihat dari tuntutan keadilan bagi perempuan untuk disamakan dengan laki laki.

Padahal pemikiran tersebut diimpor dari Barat ke Indonesia, salah satu pintu masuknya adalah pemberdayaan perempuan dalam ekonomi.

Ide kesetaraan gender ini sebetulnya memaksa kaum ibu harus keluar dari rumah dan terampasnya hak anak atas kasih sayang ibunya.

Tidak dimungkiri, kondisi kemiskinan juga mendorong puluhan juta kaum perempuan  Indonesia terjebak dalam dunia kerja. Belum lagi perempuan yang merasa berdaya ekonomi, bisa mengurus dirinya sendiri memiliki pandangan bahwa single parents lebih baik ketimbang hidup berpasangan namun penuh konflik berkepanjangan. Maka tak heran data  BPS melaporkan juga angka perceraian meningkat tajam dengan data gugat cerai setelah banyak perempuan menerima sertifikasi dan perempuan sudah merasa bisa mengurus dirinya sendiri.

Padahal realitasnya saat perempuan keluar rumah atau berjibaku memenuhi kebutuhan ekonomi justru mendorong semakin mengikis peran mereka sebagai istri (sahabat bagi suami) dan ibu bagi anak anaknya.

Peran orangtua dalam mendidik anak anak pun tergantikan dengan pendidikan yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah dan  pengasuhan  diserahkan ke baby sitter atau pembantu rumah tangga.

Akhirnya ketahanan keluarga semakin rentan, peran keluarga sebagai unit terkecil mulai terkikis,  kehangatan sebuah keluarga jarang sekali didapatkan, pola relasi dalam keluarga terdegradasi, dan keluarga bak sebuah lembaga perkantoran harus ada timbal balik secara materi di mana  setiap indiviu dalam keluarga sudah tidak menjalani peran dengan semestinya.

Walhasil dari rapuhnya ketahanan keluarga menjadikan angka perceraian meningkat tajam diiringi meningkatnya kenakalan remaja, banyaknya anak terlibat dalam pergaulan bebas, tawuran dan narkoba. Kurangnya pemahaman agama juga menjadikan sensitfitas terhadap dosa pun menurun, kehamilan di luar nikah sudah dianggap biasa. Kesakralan pernikahan terkikis dan mirisnya perceraian dianggap solusi saat sudah tidak lagi ada kecocokan.

Perlu disadari bahwa sebetulnya yang terjadi pada keluarga Indonesia adalah perusakan keluarga yang sifatnya sistemik. Kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia adalah kemiskinan struktural yang akhirnya memaksa kaum ibu keluar rumah, kemudian keluarga digempur juga pemikiran yang diadopsi dari Barat yang selanjutnya dikentalkan dengan pembiaran laman-laman digital yang membawa dampak negatif. Lengkap sudah praktik penghancuran keluarga dan ini merupakan problem  sistemik   yang harus diselesaikan secara sistemik pula.

Memang selama ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka perceraian namun hingga saat ini belum menampakkan hasil yang begitu signifikan. Malah tren perceraian berlangsung meningkat hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.

Semua ini akibat dari ketahanan keluarga yang semakin rapuh dan tentu menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Jika dibiarkan maka membahayakan dan dapat menghancurkan peradaban.

Solusi Nyata Ketahanan Keluarga

Ketahanan keluarga dapat diwujudkan manakala sebuah keluarga terpenuhi semua kebutuhan dasar individunya dan setiap komponen keluarga memahami peran dan fungsinya. Ketahanan keluarga yang kuat maka akan melahirkan generasi yang hebat dambaan umat.

Kebutuhan dasar individu adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sudah seharusnya menjadi peran negara untuk mewujudkan sebuah kesejahteraan bagi warganya, sebab jika ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi seorang anak harus dipaksa keluar karena tuntutan ekonomi dan akibat kemiskinan struktural, bagaimana bisa menjadi pendidik dan  mendampingi anak anaknya? Bagaimana  ketahanan keluarga bisa terjaga?

Maka bukan rahasia lagi, jika terpaksanya wanita keluar untuk bekerja adalah akibat dari tata kelola ekonomi yang salah dalam sistem negara kita yang menganut pada sistem kapitalis. Sistem yang lebih berpihak pada pemilik modal bukan rakyat. Sehingga rakyat menderita dan perempuan harus ikut berjibaku memenuhi kebutuhan keluarga.

Sudah seharusnya perempuan kembali pada fitrah penciptaanNya sebagai pendidik pertama dan utama. Sebab perempuan adalah pilar keluarga, masyarakat serta negara. Segala kebutuhannya sebagai ibu menjadi tanggung jawab dan dipenuhi oleh suaminya, jika tidak mampu maka negara berperan memenuhinya melalui pendapatan negara yang diperoleh dari tata kelola sumber daya alam  yang benar.

Islam sangat menjaga kemuliaan perempuan, jika kemuliaan kaum ibu terjaga maka mereka akan optimal dalam menjalankan berbagai perannya baik individu, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.

Sudah saatnya negara berperan maksimal mewujudkan kesejahteraan dan mementingkan kepentingan rakyatnya, karena sejatinya penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya dan esok akan dimintakan pertanggungjawaban jawaban atas kekuasaannya.

Sebagai mana pernah diterapkan  oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz saat menjadi penguasa, Khalifah Umar mampu mensejahterakan rakyatnya dengan mengatur dan mengelola dana negara sebaik baiknya hingga tidak didapati rakyatnya satu pun yang berhak menerima zakat. Ini artinya bahwa kesejahteraan adalah keniscayaan dan bisa dirasakan umat dan keluarga harmonis niscaya bisa diwujudkan jika negara mau dan serius berpihak pada umat dan lebih mementingkan kepada kepentingan umat dengan berpedoman pada hukum yang diridhoi oleh pemilik kedaulatan umat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Tentang penulis: Ulfa Ni’mah merupakan Pengajar di Kecamatan Cepu.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com