BLORANEWS – Mafhum bagi telinga kita, kata Sikep adalah padanan dari Samin. Wong Samin adalah Wong Sikep, Sedulur Samin sama dengan Sedulur Sikep, ajaran Samin tak lain dan tak bukan adalah Sikep itu sendiri. Samin merujuk pada kata ‘sami-sami’ yang berarti setara atau sepadan, juga sesuai dengan nama tokoh utama dari ajaran Samin, yakni Ki Samin Surosentiko. Sementara Sikep, adalah kosa kata Jawa yang bermakna ‘nyikep’, ‘rabi’, nikah, kawin ataupun hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Pemaknaan yang demikian dipertegas dengan penyebutan khusus kepada anak-anak dan remaja dari keluarga Samin yang belum dikategorikan sebagai Sikep, tapi masih disebut ‘adam timur’ yang berarti manusia yang masih muda usia.
Jika arti dari Sikep sebagaimana uraian di atas, dimana episentrum perkembangan ajaran Samin/Sikep dimulai dari Blora pada pertengahan abad 19, tepatnya pasca perang Diponegoro yang diwarnai pendekatan represif pemerintah kolonial Belanda kepada rakyat Jawa, adakah pemaknaan Sikep yang berbeda di periode periode sebelumnya?
Sikep, Golongan Petani ‘Tuan Tanah’
Peter Carey dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Kuasa Ramalan. Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855” memberi informasi tentang Sikep dengan penjelasan yang jauh beda dibanding Sikep dalam pengertian ajaran Samin. Sejarawan Indonesia modern itu membabarkan panjang lebar kondisi Jawa Tengah Selatan di periode 1792-1825.
Khusus tentang Sikep, dia menyebut bahwa entitas ini adalah golongan petani penggarap yang jumlahnya kecil tapi cukup berpengaruh. Mereka memegang hak atas lahan yang ditanami oleh desa secara bersama-sama, baik karena merupakan perintis (cikal bakal) maupun karena keturunan langsung para perintis tersebut. Dengan kedudukan demikian, mereka bertanggungjawab atas pajak tanah dan pajak lain serta cukai di desa itu terhadap penguasa tanah-jabatan melalui para pemungut pajak mereka. Di samping itu, mereka bisa mengajukan calon kepala desa dan pejabat desa lainnya.
Mereka pun memegang kendali bersama untuk mengatur pembagian sawah dan lahan desa yang sering membentang hingga kawasan hutan dan padang gembalaan. Mereka juga punya pengaruh dalam penunjukan pemungut pajak setempat, sehingga banyak di antara para bekel ini berasal dari golongan Sikep.
Lahan yang dikuasai oleh Sikep terdiri dari dua macam: pertama, tanah pusaka atau tanah “warisan” yang merupakan bagian dari tanah ulayat desa dan boleh diwariskan. Kedua, tanah ‘yasa’ atau lahan baru yang dikembangkan sendiri oleh seseorang. Tanah jenis ini dibuka atas prakarsa Sikep sendiri karena golongan ini punya kemampuan untuk menggunakan tenaga kerja orang yang terkait dekat dengan keluarganya (ngidung) dan orang luar yang menumpang (numpang).
Sejauh menyangkut lahan-lahan warisan, Sikep hanya berhak atas hasilnya dan bukan merupakan hak milik karena kedudukan Sikep tergantung pada kemampuannya memenuhi kewajiban rodi dan pembayaran pajak/upeti kepada raja atau penguasa tanah-jabatan. Raja-raja di Jawa tetap merupakan pemegang kedaulatan atas penguasaan tanah dan seorang Sikep secara teori dapat kehilangan haknya jika gagal memenuhi kewajibannya. Karenanya hak Sikep atas tanah pusaka lebih mirip dengan ‘lungguh’ atau tanah-hibah yang diberikan kepada pejabat keraton daripada dengan hak milik pribadi. Goyahnya hak seperti itu atas tanah warisan merupakan sumber kerawanan bagi Sikep. Tapi itu berbeda dengan keadaan di keraton di mana pemecatan Sikep boleh dikata tidak ada.
Di sini lain, tanah yang dibuka dan dikembangkan sendiri lebih merupakan hak milik Sikep karena tanah itu boleh dikata ada karena usahanya. Raja terkadang dapat menuntut hak atas tanah semacam itu atau membebankan pajak baru atas tanah tersebut. Tapi hal yang demikian jarang terjadi karena pendataan tanah secara detail oleh pihak kerajaan tidak diperbaharui sejak 1773-1774. Dalam hal ini, golongan ‘numpang’ dan kelompok tanggunan lain atau ‘rayat’ (anak buah atau pengikut) sangat penting bagi Sikep: tenaga kerja tersebut sepenuhnya berada di bawah kekuasaannya dan dapat digunakan sesuka hati untuk melaksanakan kerja-kerja pertanian, untuk menunaikan kewajiban rodi, dan memperluas penguasaan Sikep atas tanah terlantar di sekitar.
Dari uraiannya tentang Sikep sebagai petani-penggarap, Peter Carey memperkirakan: perluasan tanah pertanian paling cepat yang terjadi dan dilakukan oleh golongan Sikep terjadi pada penghujung abad kedelapan belas ketika tekanan terhadap penduduk kurang hebat, dibandingkan dengan yang terjadi kemudian dalam beberapa dasawarsa menjelang terjadinya Perang Jawa. Dalam hal ini jelaslah bahwa golongan Sikep bertindak atas prakarsa sendiri di daerah masing-masing dan memiliki kekuasaan besar atas golongan ‘numpang’.
Dari narasi sejarah di atas, terinformasikan kepala kita adanya segolongan petani di peralihan abad 18 dan 19 di wilayah Jawa tengah selatan yang diuntungkan oleh kondisi sosial politik saat itu dan diidentifikasi dengan sebutan Sikep.
Kesamaan antara Sikep bimakna Samin dan Sikep sebagai petani-penggarap adalah sama-sama hanya menggantungkan sumber kehidupan mereka dari sektor pertanian. Adapun perbedaan paling mencolok; Sikep/Samin sangat gigih dengan caranya yang khas menolak pajak, sedang Sikep petani-penggarap adalah pembayar pajak/upeti yang sangat tertib, juga penyedia tenaga rodi. Justru kemampuan mereka untuk secara konsisten memenuhi kewajiban membayar pajak/upeti menjadi syarat baginya agar tetap memiliki hak istimewa sebagai penggarap lahan pertanian yang luas.
Pertanyaan lanjutan; Adakah keterkaitan dua golongan petani yang memiliki tradisi yang berbeda ini? Apakah Sikep Samin merupakan wujud metamorfosis dari Sikep petani-penggarap? Mungkinkah Sikep Samin terinspirasi dari Sikep petani-penggarap? Ataukah keduanya tanpa kaitan asal muasal?
Tentang Penulis: Dalhar Muhammadun merupakan Ketua Lesbumi dan Ketua Dewan Kebudayaan Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.