fbpx
OPINI  

SAMIN SUROSENTIKO: ORANG RANTAI DARI JAWA

Ilustrasi : Samin surosentiko

Buruh Paksa (Dwangerbeiders) dari Jawa

Bulan Desember tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap dan disekap di kantor Kawedanan Randublatung, Blora. Karena dianggap membangkang dan mengancam keberadaan penjajah kolonial, ia bersama 8 orang saudara seperjuangannya dibuang ke Digul.

Setelah beberapa lama di sana, bersama dengan para tahanan lainnya diangkut dengan menggunakan kapal laut dan kereta api ke Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat. Mereka di sana dijadikan buruh paksa pertambangan batubara.

Bersama para buruh paksa lain yang direkrut dari berbagai penjara di Jawa, Bali dan Makasar mereka dipekerjakan. Para buruh yang ada umumnya adalah para hukuman karena berbagai persoalan di masa lalu seperti pencuri, perampok dan pembunuh serta para pemberontak kolonial Belanda.

Untuk menjaga dari segala sesuatu hal yang merepotkan dan membahayakan penjajah mereka dirantai pada pergelangan kaki, tangan, bahkan leher, termasuk pada saat bekerja, makan, hingga tidur sekalipun. Karena itu para buruh paksa tersebut disebut dengan “Urang Rantai” atau “Orang Rantai”.

Karena sangat dekat dengan orang-orang rantai dan masyarakat, Samin Surosentiko dipilih menjadi pemuka buruh pertambangan. Berkat kemampuan bergaul dan ilmu kebatinan yang tinggi tersebut akhirnya dia menjadi panutan masyarakat dan lebih dikenal dengan sebutan Mbah Soero.

Beliau dikabarkan memiliki 5 orang anak dengan 13 orang cucu. Sementara isterinya adalah seorang dukun beranak. Dikabarkan Mbah Suro meninggal dunia sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di pemakaman Orang Rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto.