fbpx
OPINI  

SAMIN SUROSENTIKO: ORANG RANTAI DARI JAWA

Ilustrasi : Samin surosentiko

Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda, wilayah Sawahlunto hanyalah sebuah wilayah yang dipenuhi oleh ladang ilalang yang tidak bisa ditanami dan persawahan penduduk di sekitar aliran sungai Lunto.

Namun, setelah penelitian yang dilakukan oleh geolog-geolog Belanda di pedalaman Minangkabau, yang saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang, sebagai tugas dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, seperti penelitian dan ekspedisi pertama dilakukan oleh Ir. C. De Groot van Embden pada tahun 1857, yang dalam perjalanannya ke Tanjung Ampalu –sekitar 20 km dari Sawahlunto melaporkan bahwa terdapat batubara antara Tanjung Ampalu dengan Padang Sibusuk.

Sepuluh tahun kemudian sekitar tahun 1867, Ir. Willem Hendrik de Greve seorang geologi Belanda lainnya melanjutkan penelitian. Sejak ditemukannya batu bara Ombilin oleh Greve tahun 1868 itulah, akhirnya menjadi cikal bakal masuknya pemerintah Belanda dalam bisnis tambang batu bara.

Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia-Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batubara di Sawahlunto.

Selanjutnya Sawahlunto dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Dari daerah ladang ilalang kemudian berubah fungsi menjadi kota tambang dengan berbagai infrastruktur pendukungnya seperti gedung-gedung perkantoran, rumah bola dan perumahan petinggi tambang.

Menurut laporan pendahuluan yang dibuat  geolog Belanda yang bernama Verbeek, batu bara yang terdapat di Sawahlunto ini sangat besar dan cukup untuk memakmurkan tujuh turunan. Memang tak dipungkiri, sebelum ditemukan batubara, Sawahlunto hanya sebuah desa kecil yang hanya dihuni 200-an orang penduduk asli.

Namun, setelah  menjadi kota tambang, penduduk kota ini mencapai 10.000 orang dari berbagai etnis dan bangsa seperti Cina, Jawa, Bugis, Bali, Batak dan Belanda. Pekerja-pekerja orang Belanda mengalami peningkatan jumlah yang cukup pesat di Sawahlunto.

Pada tahun-tahun awal dibukanya tambang, orang Belanda di tahun 1894 hanya 10 orang. Namun, tahun 1918 orang Belanda yang bekerja dan mendiami kota ini mencapai 136 orang. Sebuah jumlah yang sangat besar pada waktu itu.

Karena batubara adalah komoditi utama di dunia industri, terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk berbagai industri seperti pabrik, kapal dan kereta api, maka tambang batubara tahun 1891 dibuka. Tentunya untuk kepentingan kolonial Belanda.

Untuk melancarkan praktek ekonomi kolonialnya kemudian pihak pemerintah Belanda mendatangkan berbagai pekerja dari Nusantara. Buruh yang pertama didatangkan adalah etnis Cina dari Singapura dan Penang Malaysia. Sehabis masa kontraknya, buruh-buruh Cina itu tidak mau memperpanjang kontrak, sehingga direkrut buruh-buruh dari Jawa.

Pada abad ke-19 inilah, pemerintah Hindia-Belanda mulai mengirim narapidana dari berbagai penjara di Indonesia ke kota Sawahlunto sebagai pekerja paksa, sehingga sekitar 20.000 narapidana telah dikapalkan ke Sawahlunto untuk dijadikan pekerja tambang.

Kebanyakan di antara pekerja tambang itu adalah para tahanan pribumi yang berasal dari berbagai etnis di Nusantara. Mereka inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan “Urang Rantai”. Tak terkecuali sebagian dari pemberontak komunis Silungkang (1927) juga dikirim ke tambang batubara di Sawahlunto, sebagaimana direfleksikan oleh Bachtiar Djamily dalam novelnya Orang Rantai dari Silungkang (Djakarta: Tekad, 1963).

Sejarah perjalanan tambang batubara di Sawahlunto dapat dibaca dalam disertasi Erwiza Erman, Miners, Managers and the State: A Socio-Political History of the Ombilin Coal-Mines, West Sumatra, 1892-1996 (Universiteit van Amsterdam, 1999).

Ada tiga corak buruh yang bekerja di batubara Ombilin, yaitu buruh harian, buruh kontrak (contractanten) dan buruh paksa (dwangerbeiders). Buruh harian adalah buruh yang bekerja dengan upah harian. Buruh ini umumnya berasal dari orang Minangkabau, terutama penduduk sekitar wilayah penambangan.

Buruh  kontrak adalah buruh yang bekerja dengan masa kontrak 3 tahun sampai 5 tahun. Buruh kontrak ini umumnya berasal dari daerah-daerah kantong miskin di pulau Jawa. Sedangkan buruh paksa adalah buruh yang direkrut dari berbagai penjara di Jawa, Bali dan Makasar.

Buruh paksa ini umumnya adalah para hukuman karena berbagai persoalan di masa lalu seperti pencuri, perampok dan pembunuh serta pemberontak. Belakangan ini, orang Minangkabau yang awalnya enggan bekerja sebagai buruh tambang juga mulai terlibat dalam kegiatan ini, terutama sebagai  buruh bebas (vrije arbeiders).

Dari ke tiga kategori di atas, mereka mendapat imbalan yang berbeda. Dari segi jaminan kesejahteraan buruh kontrak merupakan kelompok yang mendapat jaminan paling memadai, sedangkan buruh paksa justru mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

Dapat pula dipahami, karena sulit dan besarnya biaya untuk mendatangkan buruh ke Sawahlunto, buruh-buruh juga didatangkan dari luar. Buruh etnis Cina yang pertama didatangkan dari Singapura dan Penang hanya bertahan satu masa kontrak saja.

Setelah habis kontraknya, mereka berhenti menjadi buruh. Buruh kontrak yang bertahan lama justru mereka yang datang dari Jawa, yang selalu menyambung masa kontraknya, sehingga mereka bertahan sampai anak cucunya di Sawahlunto.

Kesadaran sebagai anak jajahan ini kemudian dipertajam lagi oleh tokoh-tokoh buruh sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa di kalangan tambang. Beberapa peristiwa seperti pemberontakan buruh tambang batubara Ombilin dan masyarakat sekitarnya awal tahun 1927 membuktikan bahwa mereka telah memiliki kesadaran kolektif untuk melawan kolonial Belanda.

Kesadaran kolektif ini kemudian membentuk sebuah pemahaman tentang akar penyebab keterjajahan berbagai etnis dan bangsa yang ada yaitu Belanda. Kesadaran kolektif inilah yang kemudian menjadi kesadaran antar bangsa dan menjadi cikal bakal menuju kesadaran Indonesia. Dalam perjalanannya, kesadaran kolektif  dari masyarakat multi kultural inilah menjadi modal besar dalam pembentukan nasionalisme Indonesia.

Pada satu sisi, perusahaan memperlihatkan kemajuan yang ditandai dengan keuntungan besar yang diperolehnya. Pada masa jaya-jayanya tambang batubara Ombilin sepanjang tahun 1930-an, perusahaan mampu memproduksi batu bara mencapai puncaknya 624.000 ton setiap tahunnya.

Namun yang menjadi persoalan bahwa dari hasil keuntungan tersebut buruh tidak menikmatinya. Mereka hanya dieksploitasi habis-habisan oleh pihak perusahaan. Hal ini dapat dibuktikan dari tingkat upah yang diterima oleh buruh tambang batu bara Ombilin tetap saja tidak dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Jumlah buruh yang bekerja di tambang batubara Ombilin mencapai 8.000-an. Untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-harinya, maka pihak tambang menyiapkan makanannya secara bersama. Komsumsi sehari-hari untuk pergi bekerja ditanggung dan disediakan oleh pihak tambang.

Konsep ini bukan berarti pihak perusahaan memikirkan kesejahteraan buruh, akan tetapi hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan buruh agar tetap prima. Medan kerja yang berat, karena umumnya batubara yang digali adalah lapisan C dan terdapat di perut bumi, maka dibutuhkan tenaga dan stamina yang kuat.

Jika buruh sakit, maka akan menjadi beban tambahan dari perusahaan, sehingga pihak perusahaan menjaga secara prima kondisi kaum buruh. Untuk itu, dapur umum yang dibuat pihak perusahaan mampu menyiapkan makanan untuk 6.000 ribu orang setiap harinya.

Setelah sekitar 110 tahun dieksploitasi, sejak 2000/2001 cadangan batubara terbuka di Sawahlunto telah habis, dan PT. Bukit Asam akhirnya menghentikan kegiatannya di kota yang dijuluki “Kota Kuali” karena lokasinya berada di bawah dan dikelilingi perbukitan itu.

 Akibatnya, karena tidak ada lagi mata pencaharian atau usaha yang bisa mereka kerjakan sekitar 7.000 orang yang merupakan karyawan pertambangan beserta keluarganya meninggalkan Kota Sawahlunto, sehingga sejak itu kota Sawahlunto terancam menjadi kota mati.

(Mantan, red) Walikota Sawahlunto, Amran Nur (menjabat 2003-2008), mengatakan, pada 2000 sampai 2004 adalah masa-masa tersulit bagi kota tersebut, karena tambang terbuka PT. Bukit Asam berhenti, yang disusul penurunan drastis jumlah penduduk.

Kehadiran Belanda di Sawahlunto ini lebih kurang 50 tahun. Karena setiap pembangunan yang dibuat berkaitan erat dengan kebutuhan eksploitasi tambang maka menjadikan warisan yang ditinggalkan Belanda selama 50 tahun tersebut adalah sarana dan prasarana tambang. Tiga warisan utama Belanda dengan istilah tiga serangkai yaitu Teluk Bayur, jalur kereta api dan tambang batu bara Ombilin.