Pandemi yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia yang diakibatkan oleh virus Covid-19 telah membuat hampir semua sektor terganggu. Baik dari perekonomian, pendidikan, pariwisata dll. Sektor perekonomian yang biasa dikatakan lumpuh membuat banyak para pekerja mengalami pemberhentian sementara atau bahkan PHK. Apalagi, secara resmi pemerintah telah menutup banyak tempat bekerja demi meminimalisir penyebaran Covid-19 ini. Menghilangnya sumber penghasilan membuat banyak kalangan pekerja dan masyarakat kelimpungan. Sebab pengeluaran dan konsumsi sehari-hari cenderung tidak bisa diajak kompromi. Terlebih akibat pandemi ini beberapa bahan pokok justru naik.
Usaha pemerintah untuk membatasi penekanan dengan cara membatasi mobilitas sosial juga tidak terlalu memuaskan. Justru hal ini banyak dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan pribadi. Seperti persyaratan masuk kota yang mengharuskan menunjukkan surat keterangan bebas covid dari Rumah Sakit. Demi mencari keuntungan yang banyak, ada saja oknum yang menjual surat keterangan palsu dengan stempel rumah sakit palsu guna mengelabui petugas. Namun, meski demikian angka penyebaran juga tidak bisa dikatakan menurun. Jika dilihat dari waktu ke waktu, jumlah positif covid justru cenderung meningkat. Program Lockdown, PSBB, Sosial Distancing, PPKM yang diharapkan mampu menekan penyebaran juga justru tidak banyak membantu. Beberapa minggu terakhir saja, setiap hari jumlah kasus positif meningkat lebih dari 10.000 orang lebih.
Menanggapi hal ini, pemerintah tidak bisa tinggal diam. Secara bertahap pemerintah berusaha memberikan bantuan kepada masyarakat. Beberapa bentuk bantuan diantaranya sembako, uang tunai dan penggratisan biaya listrik untuk beberapa bulan hingga kuota gratis untuk pelajar. Kendati demikian, meski berada di situasi yang pelik ini masih ada saja hambatan yang muncul dalam pemberian bansos dari pemerintah tersebut. Baik dari pemerintah daerah maupun saat dalam pembagian. Banyaknya kalangan masyarakat yang melakukan unjuk rasa dan protes karena menilai pemberian bansos tidak tepat sasaran menjadi indikator dan bukti bahwa pengawasan masih sangat rendah.
Selain itu tingginya jumlah penderita positif covid-19 di Indonesia mengakibatkan banyak wilayah yang melakukan PSBB yang sangat memukul perekonomian masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Hal ini menyebabkan mereka yang sebenarnya memiliki cukup persediaan ditengah-tengan pandemi juga dengan agresif meminta bansos yang sejatinya diberikan pada mereka yang benar-benar membutuhkan. Alasan yang mereka gunakan adalah bahwa mereka juga masyarakat yang terkena imbas pandemic covid ini. Padahal jika menilik dalam permendagri nomor 32 tahun 2011 ttg hibah dan bansos kita bisa melihat bahwa yang berhak menerima bansos adalah para masyarakat yang mengalami ketidakstabilan disebabkan oleh bencana, politik dll agar dapat memenuhi kebutuhan minimum. Disini dapat dikatakan bahwa mereka yang memiliki cukup persediaan meskipun terdampak dan sumber penghasilan mereka hilang tetap saja mereka tidak berhak menerima bansos.
Setelah mencari dan mengolah informasi yang telah ada. Ada beberapa problematika yang ada dalam pemberian bantuan. Baik yang berupa halangan lingkungan maupun lainnya. adapun hasil temuan penulis dari beberapa sumber bias dikatakan beberapa halangan sebagai berikut;
Tingkat pemerataan yang Rendah
Tingkat pemerataan dalam pemberian bantuan sosial menjadi masalah utama dalam pemberian bansos di masyarakat. Sebab perbandingan antara jumlah penduduk yang dirasa berhak menerima dengan kuota yang diberikan terlalu jauh, Kira-kira 1:40. Perbedaan yang terlampau tinggi tersebut sendiri kurang masuk akal. Sebab dari 40 orang yang seharusnya menerima hanya satu kuota yang ada. Tentu ini mengakibatkan kecemburuan sosial yang besar.
Apalagi jika dibarengi dengan tidak tepatnya pemberian bansos tersebut. Contoh nyata bisa dilihat di desa Botoreco Kunduran. Dari jumlah keseluruhan warganya setiap dukuh sebanyak 500 an KK lebih hanya 10-20 orang yang menerima bantuan. Memang bantuan yang diberikan ada berbagai bentuk namun juga tidak ada artinya.
Terlebih program keluarga PKH yang menjadi salah satu program andalan malah dinilai masyarakat sangat tidak tepat. Dalam kesempatan lain, penyusun pernah pergi ke daerah Batang. Disana dalam perbincangan dengan warga setempat, ,mereka mengatakan bahwa PKH hanyalah akal-akalan perangkat desa saja. Sebab penerima PKH hampir semua adalah saudara kerabat lurah dan perangkat desa lainnya. Yang beberapa justru tergolong mampu, ini dibuktikan dengan rumah yang tembok dan sawah yang luasnya sekitar ¾ Hektare. Dalam masyarakat desa luas ini tergolong sangat luas.
Tidak tepatnya Sasaran Bansos
Pemberian bantuan sosial yang kurang tepat membuat masyarakat resah. Tak jarang warga melakukan protes ke kelurahan atau ke kecamatan terkait pemberian bansos tidak tepat sasaran. Warga yang cukup mampu malah menerima sedangkan warga yang seharusnya berhak menerima malah tidak.
Untuk masalah ini sebenarnya penulis memiliki 2 sudut pandang. Pertama dari lembaga, yaitu pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran tidak bisa serta merta langsung menyalahkan kecamatan atau kelurahan. Sebab terkadang data penerima terlambat diperbarui menjadi kendala utama.
Jika pihak atasan tidak memberikan perintah tentu mereka juga tidak bisa bertindak seenaknya. Hal ini menyebabkan terkadang orang yang memang pada awalnya berhak menerima karena memang tidak mampu karena keterlambatan membuat ia yang seharusnya tidak berhak masih dianggap berhak oleh pemerintah. Sebab masih menggunakan data lama. Selain itu mereka juga tidak menyadari atau setidaknya mau mengalihkan bantuan untuk yang memang benar-benar berhak.
Kedua dari pihak masyarakat, mereka memandang bahwa tidak tepatnya sasaran adalah tanggung jawab pemerintah dan menjadi hak mereka bahwa mereka harus menerima bantuan tersebut. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah sebab sejatinya bansos juga merupakan hak mereka. Namun pandangan ini biasanya diperkuat oleh penerima yang sebenarnya mampu dan merupakan keluarga kerabat dari perangkat desa terkait.
Hal Ini tentu membuat marah sebagian besar warga dan menilai pemberian bansos hanyalah manipulasi para pejabat terhadap kelas bawah seperti mereka. Terlebih transparansi pemberian bansos bias dikatakan kurang memuaskan untuk masyarakat. Ini jelas memperkuat argumen mereka bahwa pemberian bansos telah dimanipulasi dengan sistematis.
Beberapa kasus yang terjadi diantaranya ;
1. Kasus dugaan pemotongan jumlah bansos yang seharusnya diterima di wilayah Sumut. Dalam kasus ini seorang ibu-ibu bertanya kepada Presiden Jokowi terkait jumlah bansos yang seharusnya Rp.600 ribu namun hanya diterima Rp.100 ribu. Protes ini disampaikan warga desa Buluduri di kantor camat Lae Parita,
2. Demo para petani di Kecamatan Randublatung terkait pemberian bantuan yang bersumber dari BLT DD. Padahal awalnya ada 166 warga yang tercatat sebagai penerima bantuan. Namun pada saat pembagian justru hanya 100 orang yang menerima. Mereka menilai pemangkasan bantuan di masa kritis ini sangat tidak tepat dan tidak manusiawi. Selain itu mereka juga menjelaskan bahwa pemangkasan jumlah penerima bantuan sangat tidak sesuai dengan permendes No.6 tahun 2020 tentang prioritas penggunaan dana desa.
Masalah lain yang menjadi perhatian adalah tidak jelasnya konsep warga ekonomi termiskin dan masyarakat terdampak yang mengakibatkan simpang siurnya siapa yang berhak dan yang tidak berhak. Mereka yang sebenarnya cukup mampu bias saja menggunakan alasan masyarakat terdampak yang telah kehilangan atau berkurang sumber penghasilan untuk mendapatkan bantuan yang sebenarnya tidak perlu diterimanya. Ini menjadi masalah serius yang perlu diperhatikan dan disosialisasikan di kalangan pejabat bawah demi pemerataan yang adil bagi masyarakat.
Data yang Tidak Valid
Ketidakvalidan data yang ada menjadi masalah yang serius dan telah berlarut-larut di negara Indonesia ini. Data yang telah lama dan tidak akurat masih saja menjadi acuan dalam berbagai pemberian bantuan. Data seperti warga yang sudah meninggal, tetapi masih terdaftar mendapatkan bantuan sosial. Selain itu juga ada warga yang sudah pindah rumah, tetapi KTP masih menggunakan alamat yang lama. Bahkan beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan data 5 tahun yang lalu masih saja dipakai oleh instansi untuk memberikan bantuan.
Akses Lingkungan yang tidak memadai
Problem selanjutnya yang menjadi kendala adalah buruknya akses menuju wilayah terdampak yang akan diberikan bantuan. Kondisi geografi yang tidak mendukung apalagi ditambah akses jalan yang buruk membuat penyaluran tidak bisa berjalan lancar. Seperti pemukiman yang terletak di kedalaman hutan atau daerah dengan pembangunan yang sangat minim. Di wilayah Nusa Tenggara contohnya. Disana banyak pemukiman yang menjorok ke dalam hutan yang sangat terpencil yang bahkan akses listrik pun tergolong minim. Proses pemberian bantuan kepada mereka pun tidak bias lancer. Terkadang mobil yang digunakan mengangkut bansos pun tersedak yang memakan waktu relatif lama untuk meneruskan perjalanan. Hal ini juga membuat malas penyalur yang akan mengirim bantuan ke wilayah terdampak.
Selain itu keefektifan bantuan juga harus diperhatikan. Tak jarang bantuan yang diberikan justru malam membuat masyarakat tidak terbantu justru sebaliknya. Seperti wilayah dengan akses jalan yang sulit dan akses lingkungan lainnya yang tidak mendukung. Bentuk bantuan yang diberikan juga seharusnya berbeda dengan masyarakat lainnya. Missal bantuan yang semula adalah uang, dengan kebijakan pemerintah wilayah diganti dengan kebutuhan yang lebih mereka butuhkan seperti sembako atau lainnya. Sebab jika dalam bentuk uang tentu ini akan membuat mereka harus keluar kembali untuk membelanjakannya. Ini justru membuat mereka tidak terbantu mengingat akses yang sulit tersebut.
Tentang penulis : Ahmad Zacky Ilhamuddin adalah Mahasiswa UIN Walisongo Semarang merupakan Warga dukuh Kawisan Desa Botoreco Kecamatan Kunduran.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.