Blora- Dalam rangka memperingati ulang tahun yang ke-95 dari penulis yang berkali-kali masuk sebagai kandidat penerima nobel sastra Pramoedya Ananta Toer, Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan ‘Pasang Surut’ berencana melakukan sejumlah acara.
Di antaranya workshop pengelolaan sampah, pameran karya terbuat dari sampah, ajang foto model background instalasi sampah, diskusi, lapak buku, sablon hingga pentas seni budaya yang rencana diselenggarakan pada 6-9 Februari 2020.
Salah satu pendiri Pasang Surut yang juga adik kandung Pramoedya, Soesilo Toer mengaku antusias dengan tema yang diangkat kali ini. Dirinya mengundang semua kalangan untuk hadir dan mengikuti berbagai kegiatan tersebut.
“Saya sebagai salah satu pendiri lembaga sangat mendukung kegiatan tersebut. Ketuanya Pak Sulistiyono (Alm) dan sekjennya Eko Arifianto. Apalagi saya sebagai rektor, ngorek yang kotor-kotor kaitannya dengan sampah. Silahkan hadir kalau ada niat,” kata Soesilo, Sabtu (01/02).
Soesilo yang sehari-hari menyibukkan diri sebagai pemulung tersebut akan menunjukkan berbagai benda yang ditemukannya selama menjadi pemulung. Dirinya mengaku bangga dengan kegiatan memulung dan menyebut pemulung sebagai penyelamat dunia.
“Terserah penilaian orang. Hidup harus punya arti, harus punya makna dan bisa menghasilkan nilai tambah atau nilai lebih. Petani dan buruh bisa menghasilkan nilai lebih yang bersifat relatif, tapi pemulung bisa menciptakan nilai lebih yang bersifat absolut,” imbuhnya.
Terkait tema acara yang menyoroti sampah, Soesilo menyampaikan keprihatinannya dengan rendahnya kesadaran cinta lingkungan di Blora. Masih banyak orang yang membuang sampah di sungai sehingga merusak lingkungan.
Pramoedya Hobi Membakar Sampah
Soesilo mengungkapkan, tiap penulis memiliki kesenangan yang berbeda-beda. Dirinya mencontohkan, Maxim Gorky (penulis asal Rusia, pendiri metode sastra realisme sosialis) menyukai laut, sedangkan Pramoedya menyukai sampah.
Bicara tentang Pram dan Sampah ada kisah menarik. Soes bercerita bahwa dulu pernah menghijaukan lingkungan dengan menanam pohon mangga yang masih dalam cangkokan. Supaya subur dirinya memberikan sampah organik di sekitarnya.
Karena oleh Pram itu dikira sampah lalu dibakar. Melihat hal tersebut, istri dan anak-anaknya lalu teriak: “Pi, itu tanaman, pi… Itu tanaman pohon mangga!”
Pram marah karena kesenangannya diganggu. Dia langsung berucap: “Baru bakar sampah saja dilarang, kalau membakar revolusi bagaimana!”
“Ya, mungkin dia gak ngerti kalau itu tanaman,” tukas Soes sambil tertawa.
Kerusakan Lingkungan Jadi Masalah Bersama
Sementara, Sekretaris Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut, Eko Arifianto menegaskan, kerusakan alam dan lingkungan yang belakangan makin mengkhawatirkan memang sudah saatnya menjadi perhatian bersama.
“Seperti kita tahu bahwa bencana sudah banyak terjadi, dan itu adalah peringatan kepada kita semua tentang kerusakan alam yang ada,” katanya.
Menurut Eko, penambangan kawasan karst, alih fungsi lahan produktif pertanian untuk industri, budaya buang sampah sembarangan di sungai yang akibatkan pencemaran dan pendangkalan hingga pemakaian pupuk kimia pertanian semakin sebabkan kerusakan alam ini.
“Walau kondisinya sudah rusak, kita tidak boleh diam dan hanya menunggu pasrah datangnya kehancuran. Selama ini ibu bumi telah memberikan kelimpahannya, jadi tugas kita sekarang untuk menjaga keseimbangannya. Peduli kepada ibu bumi adalah kunci jika kita mau terhindar dari bencana ekologis,” pungkasnya. (psr)