fbpx

PENYEBAB RENDAHNYA TINGKAT LITERASI DI BLORA MENURUT KETUA PAC IPNU JEPON

UNESCO menyebutkan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Kondisi tersebut tentu merepresentasikan rendahnya tingkat literasi di seluruh daerah di Indonesia, tak terkecuali di Blora.
Ramadhan Ega S.

Jepon – UNESCO menyebutkan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Kondisi tersebut tentu merepresentasikan rendahnya tingkat literasi di seluruh daerah di Indonesia, tak terkecuali di Blora.

Menurut Ketua PAC Jepon, Ramadhan Ega (29/11), menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat literasi di Blora rendah. Diantaranya kegagalan guru dalam mendidik dan minimnya kualitas penunjang untuk berliterasi.

“Menurut saya, kegagalan guru menjadi salah satu faktor penyebab diantara faktor-faktor lainnya, seperti alienasi buku bacaan non-pelajaran (dalam arti selain buku mapel wajib), dan buruknya kualitas serta rendahnya kuantitas buku yang dapat diakses peserta didik,” ucapnya.

Mas ega juga mengkritik metode pembelajaran yang konservatif. Dimana guru menjadi penguasa tunggal dalam aktivitas belajar-mengajar dan melarang peserta didik untuk berinovasi.

“Terus, konservatisme dalam mengajar. Perserta didik dilarang untuk berinovasi, mencari sendiri referensi, atau memantik sebuah diskusi; harus plek jebles seperti omongan guru. Kalau seperti itu, untuk apa membaca?,” Tegasnya.

“Lalu, juga dalam membentuk mindset. Belajar, hanya mengerucut di belajar Mapel. Sehingga, muncul standarisasi pintar di persepsi sebagian guru. Pintar, hanya tersemat pada peserta didik yang jago matematika, jago fisika, atau  hanya handal dalam mengahapal. Kemampuan dalam merangkai diksi, menyusun opini secara runtut, atau kemampuan lain yang ditunjang melalui membaca, akan tenggelam,” tambahnya.

Selain itu, pak ketua juga bercerita pengalaman pribadinya kala bukunya dibuang oleh guru karena membaca buku diluar mata pelajaran.

“Jika boleh pakai pengalaman pribadi, buku saya pernah dibuang. Dengan alasan, “sekolah, ya sekolah. Kalau baca buku di luar pelajaran, baca di rumah”,” ungkapnya. (kin).