Setelah pejabat Patih, adalah Pangeran, sebagai seorang Putra Mahkota, atau Pangeran Adipati Anom Hamengkunagara. Sesuai namanya, mereka menjabat sebagai “penjabat muda pemerintahan” (Adipati anom), dan pemangku kebijakan (wengku nagara).
Setelah tahun 1828, nama Pangeran disebut hanya sebagai nama gelar, tetapi di masa sebelumnya mereka benar-benar seorang Putra Mahkota, Ratu Anom, atau “Raja Muda”. Namun demikian, kewenangannya berada dibawah Adipati (kuno). Sehingga Pangeran menduduki peringkat ke-3 dari pejabat tinggi Kerajaan Mataram, setelah Susuhunan (Raja) dan Patih.
Seorang Pangeran, setara dengan “Hamengkunagara”, yang dapat dimaknai sebagai nama lain dari Putra Mahkota, tentu nama ini sudah dikenal di Kartasura (sebelum tahun 1700), dan itulah mengapa semenjak tahun 1755, nama Hamengkubuwana dipilih oleh Jogja, dan identik dengan diri seorang Sultan. Nama Pangeran sendiri secara harfiah berarti “yang dinomor-satukan,” dari kata Jawa Er, Nger, Anger yang bwrarti “seseorang yang harus dilindungi/dilayani”, Er sendiri mengingatkan kita pada seorang Raja Jawa yang bernama Erlangga, apapun itu, Pangeran dahulu merupakan pejabat tinggi, bukan hanya pemegang gelar seperti sekarang. Mereka adalah bagian dari para Pangeran Agung, yang sebelum tahun 1500 disebut sebagai seorang Mahamantri atau seorang “Tuan Tanah”, yang oleh pelancong Belanda termasuk Van Goens di tahun-tahun awal 1600, disebut juga sebagai seorang “Raja”.
Dalam buku berjudul “Vorstenlanden”, karya Rouffaer tahun 1931; Van Goens mengabarkan bahwa di tahun 1575, yaitu di tahun-tahun terakhir pemerintahan Pajang, Jawa dibagi menjadi 14 provinsi mandiri, yang pasti masih diperintah oleh Pangeran-nya sendiri-sendiri. Terdiri dari Pesisir utara, yaitu Balambangan, Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang, Cirebon, Jakarta, dan Banten; dan di Pedalaman yaitu Blitar (= Kediri), Pur(a)baya (= Madiun), Mataram (= Jogja), Krapyak (= Bagelen), dan Selarong ( Banyumas). Van Goens nyatanya secara tidak langsung telah menguraikan situasi Jawa akhir abad 16. Pajang (dan Jipang?) dan Kartasura (Surakarta), tentu tidak muncul dalam daftar propinsi ini, karena berada di bawah wewenang Sultan Pajang secara langsung! Nama-nama wilayah ini kemudian seakan hilang dari ingatan, sebagaimana nama Krapyak (taman, hutan) sebagai nama lama dari Bagelen, dan nama Pur(a)baya untuk Madiun. Sekitar tahun 1650, Van Goens menambahkan, bahwa pada waktu itu masih terdapat 12 dari 14 wilayah, kecuali Jakarta dan Banten, yang “dimiliki” oleh seorang Sunan dari Jawa, dan ditambah Madura. Di masing-masing “provinsi” ini, kecuali Pati, Mataram, dan Krapyak, masyarakatnya masih dipimpin seorang dengan nama lama Pangeran, tapi hanya sebagai “raja fatsal” dari Susuhunan, bahkan, Balambangan malah masih dipimpin seseorang bergelar Ratu.
Maka sampai dengan tahun 1650, yang berada di bawah kekuasaan Mataram adalah: 1 Ratu Balambangan, 6 Pangeran Pesisir Utara (Madura, Surabaya, Tuban, Demak, Pemalang, dan Cerbon), dan 3 Pangeran Pedalaman (Blitar, Pur(a)baya, dan Selarong). Semuanya tunduk kepada Mataram, dan oleh karena sebagai rasa hormat mereka kepada istana, mereka mengamini gelar baru “Tumenggung” dari Susuhunan, sebagai seorang “Letnan”.
Sementara itu, di Pati, yang pada tahun 1627 harus ditakhlukkan sendiri oleh Sultan Agung, dan di “Crappia” (Bagelen) serta “Mataram”, disebut sebagai wilayah “Tanah Warisan”, sehingga Sunan memilih “Gubernur”-nya atau menempatkan Tumenggung-nya sendiri disini, karena seluruh keluarga Pangeran lama di wilayah ini, sudah dibersihkan seluruhnya. (Dj)