BLORANEWS – Meroketnya harga telur ayam yang merata di daerah Kabupaten Blora membuat sejumlah pedagang telur kelimpungan. Pasalnya dengan naiknya harga telur mencapai Rp 29.000 hingga Rp 31.000 per kilogram, mengakibatkan permintaan pasar turun drastis.
Lantarah kenaikan harga telur yang terus merangkak pula, sejumlah pedagang sering dikomplain pembeli. Seperti halnya Solikin, salah satu pedagang di Pasar Sido Makmur Blora, yang mengungkapkan ketidaktahuannya mengapa harga telur ayam mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Padahal dengan kenaikan harga telur ayam yang semakin tinggi, mereka pedagang pun tidak mendapat keuntungan yang besar, justru malah menurunnya omzet penjualan. Bahkan mengingat telur adalah komoditas yang paling banyak diminati sebagai protein tinggi, maka ibu-ibu sampai rela membeli telur yang retak dengan harga murah demi terpenuhi gizi keluarga.
Imbas dari kenaikan harga telur ayam juga menimpa sejumlah perusahaan roti, perusahaan aneka kue yang dalam produksinya membutuhkan bahan baku telur ayam. Mereka juga mengeluhkan hasil omzet penjualan yang menurun drastis hampir 50 persen. Dengan meroketnya harga telur, membuat biaya produksi roti menjadi membengkak, sementara mereka memilih tidak menaikkan harga penjualan roti dan tetap berproduksi, akibatnya jelas merugi. Inilah yang akhirnya sejumlah pengusaha roti di Blora, Jawa tengah terancam gulung tikar.
Sungguh miris memang, kenaikan harga telur ayam yang merata di Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan sentra wilayah Indonesia lainnya saat ini adalah tertinggi dalam sejarah atau lima tahun terakhir, ungkap ketua umum DPP IKAPPI, Abdullah Mansuri.
Namun sayangnya, di tengah persoalan naiknya harga telur ayam yang tajam, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan angkat bicara, bahwa dia menyebutkan kenaikan yang terjadi saat ini tidak parah dan dia meminta agar masyarakat tidak terlalu memikirkan dan meributkan kenaikan harga telur ayam ini.
Jika dicermati, naik turunnya harga telur ayam yang drastis sebetulnya terjadi terus berulang artinya ini menjadi persoalan yang saat ini belum menemukan titik terang yang tepat dan terukur untuk mengatasinya. Padahal kondisi hidup kian berat apalagi pasca pandemi belum seutuhnya pulih ekonomi. Rakyat tentu berharap pemerintah bisa menstabilkan harga telur ayam dan sejumlah komoditas lain di pasaran.
Jika pemicu kenaikan harga telur ayam karena adanya program bantuan sosial (Bansos) berupa berbagi telur ayam yang diungkap oleh Ketua presiden Pasar Penelusuran Nasional (PPN) Yudianto Yosgiarso, seharusnya dalam waktu singkat harga menjadi pulih normal saat seminggu pasca program bansos berakhir dan panen telur ayam kembali. Namun sayangnya belum sesuai keinginan yang diharapkan.
Eko sugitno, peternak ayam petelur asal Purbalingga, Jawa tengah mengatakan adanya pemangkasan populasi ternak yang menyebabkan produksi telur menurun, sementara permintaan tinggi akibatnya harga telur ayam menjadi naik. Selain itu distribusi yang tidak merata juga menjadi penyebab kenaikan harga telur ayam. Jadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditas telur di tengah masyarakat inilah faktor utama pemicu kenaikan harga telur atau hancurnya harga telur ayam yang terjadi terus berulang.
Bhima yudhistira, direktur center of economic and law studies (Celios) juga berpendapat bahwa kenaikan harga pakan telur seperti jagung mulai dari jagung giling maupun pakan mempengaruhi kenaikan harga telur. Apalagi sampai detik ini, Indonesia masih mengandalkan pemenuhan jagung dari impor, sedangkan harga jagung di pasar internasional telah mengalami lonjakan harga dan diduga akan terus menaik, sementara jagung telah menurun jumlah produksinya di dalam negeri. Jika hal ini terus dibiarkan, maka para peternak telur ayam akan menjerit karena harus menanggung biaya pakan yang cukup tinggi. Inilah juga penyebab kenapa sejumlah usaha peternak ayam petelur banyak yang mengalami kolaps.
Logikanya jika harga pakan ternak tidak bisa ditekan oleh pemerintah dalam biaya produksi maka berpotensi terjadi seleksi alam, jumlah peternak petelur akan menyusut karena hanya yang bisa menyiasati cashflow yang akan mampu bertahan. Sementara yang tidak kuat menanggung biaya produksi akan bangkrut. Hal yang paling mengerikan jika hal ini dibiarkan maka produksi telur yang ada tidak akan mampu memenuhi kebutuhan nasional dan ujung ujungnya nanti akan impor telur.
Untuk itu, sudah waktunya pemerintah berbenah diri melakukan perubahan dengan regulasi yang tepat, regulasi yang berpihak pada rakyat bukan korporat. Sebab ini merupakan tanggung jawab besar yang kelak dipertanggung jawabkan di akhirat.
Untuk mengatasi problem kenaikan atau hancurnya harga telur ayam yang terus berulang, maka ada beberapa langkah startegis yang harus dijalankan.
Langkah pertama adalah mengatur keseimbangan antara supply dan demand telur ayam.
Pastikan penguasa memiliki data yang akurat, terukur terkait supply dan demand sehingga mampu memperkirakan berapa jumlah demand sehingga peternak akan menyesuaikan produksinya.
Kedua, pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat dengan cara mendorong rakyatnya tetap bekerja. Dengan bekerja maka mereka bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sementara bagi individu yang kurang mampu, pemerintah bertanggung jawab memenuhi kebutuhan mereka, memobilisasi individu, masyarakat untuk saling peduli terhadap kesulitan saudaranya, dengan demikian maka individu bisa memenuhi kebutuhannya.
Ketiga, negara harus menekan biaya produksi peternak dengan menyediakan bahan pangan yang murah dengan turut mendukung pengembangan sektor pertanian yang mengacu pada peningkatan produksi yang berkesinambungan sehingga tidak lagi bergantung pada impor. Apalagi jagung adalah salah satu bahan komoditas pangan yang saat ini dimanfaatkan oleh para kapitalis sebagai barang spekulasi sehingga harga sudah tidak menentu sesuai supply dan demand di sektor riil.
Keempat. Negara harus mendorong lahirnya teknologi modern yang mendukung peternakan agar lebih efisien dalam aplikasinya, mendukung riset, mendanai para peneliti, ilmuwan agar terpacu untuk terus berkarya. Membangun laboratorium, perpustakaan dan kandang kandang percobaan.
Kelima. Mencegah masuknya perusahaan perusahaan besar asing pemilik modal kapitalis yang menguasai pasar perunggasan. Selama ini, sejumlah perusahaan asing yang masuk di Indonesia telah menguasai industri peternakan dari hulu hingga hilir, maka pantas saja dengan modal yang besar, mereka adalah pemain yang kuat dan besar. Sementara peternak lokal tidak mampu bersaing, yang akhirnya harus membeli pakan jadi dari korporasi besar ini. Akibatnya, harga sudah dipermainkan dan ini membebani bagi peternak lokal.
Keenam, negara harus mengatur distribusi hasil produksi agar harga terjaga dan ketersediaan merata. di daerah mana yang surplus produksinya, maka akan didistribusikan ke daerah yang kekurangan. Pemerintah juga harus mengawasi mekanisme pasar, dipastikan berjalan dengan baik dan benar, supply dan demand juga dalam pantauan. Sehingga tidak terjadi kekacauan. Selain itu menghukum oknum yang melakukan penimbunan, menghukum para mafia, kartel, yang berbuat kecurangan. Karena menimbun, mafia, kartel, penipuan, riba adalah hal yang diharamkan.
Tentang penulis: Ulfa Ni’mah merupakan Pemerhati Kebijakan Publik Cepu – Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi tanggung jawab Bloranews.com