fbpx

MITOS PERKAWINAN DI DESA POJOKWATU DAN KISAH MALANG SUDIRO MANTU

Banyak nama tempat di Sambong yang bermula dari kisah pernikahan anak Penggede Malang Sudiro (Loroblonyo)
Banyak nama tempat di Sambong yang bermula dari kisah pernikahan anak Penggede Malang Sudiro (Loroblonyo)

Alkisah, zaman dahulu kala hiduplah seorang tokoh bernama Penggede Malang Sudiro di Desa Pojokwatu. Suatu ketika, dia bermaksud mengawinkan anaknya yang bernama Malang Kusuma dengan seorang gadis dari Desa Ngoda.

Hari perkawinan sudah ditentukan, begitu pula semua peralatan yang diperlukan sudah disiapkan. Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan pengiring pengantin pria berbondong-bondong dari Desa Pojokwatu menuju ke Desa Ngoda. Upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah.

Pada hari kelima setelah perkawinan (sepasar, jw) akan dilaksanakan upacara Ngunduh Mantu, pengantin itu diboyong untuk dirayakan di Desa Pojokwatu. Pada saat yang sudah ditentukan, rombongan pengantin berjalan dari Desa Ngoda menuju Desa Pojokwatu.

 

Banyak nama tempat di Sambong yang bermula dari kisah pernikahan anak Penggede Malang Sudiro (Loroblonyo)
Banyak nama tempat di Sambong yang bermula dari kisah pernikahan anak Penggede Malang Sudiro (Loroblonyo)

 

Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh segerombolan perampok yang sesungguhnya adalah anak buah ayah sang pengantin laki-laki. Gerombolan tersebut merampok iring-iringan pengantin Malang Kusuma karena mereka tidak tahu kalau yang menjadi pengantin adalah anak Penggede Malang Sudiro.

Iringan Pengantin Melawan Gerombolan Perampok

Dalam peristiwa perampokan tersebut, segala peralatan dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin berceceran di sepanjang jalan antara Ngoda dan Pojokwatu. Iring-iringan pengantin berusaha melawan rombongan para perampok untuk mempertahankan benda-benda perlengkapan upacara perkawinan yang dibawanya.

Maka, terjadilah pertempuran sengit, dalam istilah warga setempat disebut tawur. Kemudian, tempat terjadinya pertempuran (tawur) antara rombongan pengiring pengantin melawan gerombolan perampok tersebut kemudian dinamakan Pedukuhan Sawur.

Peralatan kebesaran pengiring pengantin banyak yang ter cecer di perjalanan. Barang-barang tersebut antara lain bonang renteng (alat gamelan untuk mengiringi perjalanan rombongan pengantin), dan kembang nyamplung (sumping sang pengantin).

Kemudian,  jarit jomblang (kain yang dipakai oleh sang pengantin), dan kukusan (peralatan dapur yang dipergunakan untuk keperluan upacara bubak kawah, khususnya untuk pengantin anak sulung).

Asal Mula Sawah Bonang Renteng sampai Sawah Manten

Tempat hilangnya bonang renteng kemudian disebut Sawah Bonang Renteng. Di sawah ini, setiap akan mulai tanam atau panen harus didahului dengan membunyikan (nabuh) bende, sebagai pengganti bonang renteng.

Tempat hilangnya sumping pengantin yang bernama kembang nyamplung kemudian disebut Sawah Nyamplung. Tempat hilangnya kain yang dikenakan pengantin bernama jarit jomblang kemudian disebut Sawah Jomblang.

Tempat hilangnya kalung yang dikenakan sang pengantin terjerat (keserimpet) dahan tanaman kacang, kemudian disebut Sawah Kalung. Tempat hilangnya peralatan upacara bubak kawah yang berupa kukusan, kemudian dinamakan Sawah Kukusan.

Dalam peristiwa tersebut akhirnya pengantin dan pengiring nya terpisah. Tempat terpisahnya pengantin dengan pengiringnya kemudian disebut Sawah Manten.

Untuk membuang sial, di tempat tersebut setiap tahun harus disediakan sepasang bekakak putra-putri menyerupai sepasang pengantin, sebagai peringatan atas terjadinya peristiwa naas tersebut.

Mitos, Orang Pojokwatu Pantang Berbesan dengan Orang Ngoda

Adapun sang pengantin karena sudah tidak ada lagi yang mengurusi merasa ketakutan, akhirnya bersembunyi (ndhelik) pada sebuah sendang (mata air), yang kemudian disebut Sendang Delika.

Usai tawur, para pengiring mencari sang pengantin. Akan tetapi, dicari kesana-kemari (digoleki nganti napis) belum juga ketemu. Akhirnya, tempat para pengiring mencari pengantinnya tersebut kemudian disebut Sawah Napis.

Atas terjadinya peristiwa perampokan terhadap iring-iringan pengantin yang berasal dari Desa Ngoda menuju Desa Pojokwatu tersebut dianggap sebagai malapetaka besar sehingga sampai saat ini orang Desa Pojokwatu pantang berbesan dengan orang Desa Ngoda.

Jangankan berbesan, membawa sesuatu dari Desa Ngoda ke Desa Pojokwatu pun dipantangkan. Konon pernah terjadi, seorang gembala membawa batu kerikil dari Desa Ngoda ke Desa Pojokwatu yang juga disebut Desa Tubrem (Watu Brem) terpaksa harus dikembalikan ke tempatnya semula.

Pasalnya,  begitu penggembala tiba di rumah, semua binatang piaraannya sakit. Anehnya, setelah batu kerikil tersebut dikembalikan ke tempatnya semula, seketika semua binatang piaraannya yang semula sakit sembuh seperti sedia kala.

Asal Mula Desa Tubrem

Kembali ke cerita Penggede Malang Sudira, saat dia mengetahuiperbuatan anak buahnya yang melakukan aksi perampokan kepada anak dan menantunya, dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan desanya.

Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seseorang yang memikul dagangan brem (makanan dari sari tape). Penggede Malang Sudira bertanya pada orang yang memikul dagangan tersebut.

“Hei, Pak Tua! Apa yang ada dalam pikulanmu itu?,” tanya Penggede Malang Sudiro.

Orang tersebut merasa ketakutan dan khawatir kalau barang yang dibawanya akan dirampas oleh penggede tersebut. Oleh karenanya dia menjawab dengan berbohong. “Ini batu, Penggede.” Mendengar  jawaban  tersebut  Penggede  Malang  Sudira bertanya lagi.

“Watu apa kok kaya brem?” ‘Batu apa kok seperti brem’. Atas kejadian itu, akhirnya desa yang dilewati tersebut dinamakan Desa Watu Brem atau Tubrem, yang merupakan kependekan dari kata watu (yang seperti) brem.

(Disadur dari Buku CERITA RAKYAT JAWA TENGAH: KABUPATEN BLORA, Penerbit Balai Bahasa Jawa Tengah, 2017)