Kekayaan suku, budaya, bahasa, agama, dan etnis yang dimiliki Indonesia menjadi landasan Moh. Yamin dan Ir. Soekarno pada rapat pertama BPUPKI untuk mengusulkan kutipan dari kitab/kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki makna: “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” sebagai semboyan bangsa Indonesia.
Semboyan dalam kitab yang ditulis empu Tantular pada masa kerajaan Majapahit abad ke-14 tersebut, secara kontekstual sebenarnya memberikan gagasan tentang interpretasi teologis antara Budha dan juga Hindu Syiwa yang menjadi agama mayoritas kala itu. Bhinneka Tunggal Ika yang secara etimologis “Bhinneka” berarti terpecah belah, “Tunggal” berarti satu, dan “Ika” berarti itu, dapat diartikan bahwa di antara beda (agama Budha dan Hindu Syiwa) itu, sebenarnya hanya satu (kebenaran absolut).
Sehingga, kata “tunggal” yang di maksud, hanya terbatas pada pluralisme antara kedua agama itu saja. Dengan bentuk aktualisasinya, adalah diangkatnya dewan penasihat raja dari agama Budha dan Hindu Syiwa sebagai representasi dari masing-masing kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa kesetaraan antara kedua belah pihak, dan juga sebagai upaya untuk menghindari pecah belah di antaranya.
Kemudian, setelah digunakan sebagai semboyan negara Indonesia, penafsiran akan Bhinneka Tunggal Ika mengalami perluasan, yang tidak hanya pada perbedaan teologi, tetapi kemajemukan secara universal. Sehingga, semua perbedaan yang dimiliki setiap warga negara, terakomodasi untuk saling terintegrasi melalui semboyan yang mengusung persatuan/tunggal dalam kemajemukan/kebhinekaan.
Jika kembali menjejak pada era kolonialisme, di mana perjuangan masih bersifat regional, dan belum ada kesadaran akan rasa kesatuan, kekuatan bangsa Indonesia masih berhenti pada tahap “potensial”. Terlebih, ketertinggalan kita terhadap aspek teknologi pada perang dunia 1 dan 2 semakin memperbesar kesenjangan dan hambatan untuk menuju kedaulatan. Berbekal dari kesadaran tersebut, maka mulai tumbuh benih-benih rasa persatuan dari seluruh penjuru nusantara. Salah satu contoh gerakan yang muncul sebelum proklamasi itu, adalah Tri Koro Darmo/Jong Java yang menjadi wadah untuk mengakomodasi para pemuda yang berasal dari Jawa, Madura, Bali serta Lombok. Dan setelah adanya gerakan yang diinisiatori oleh Jong Java itu, secara sporadis juga diiringi dengan gerakan-gerakan yang memiliki orientasi serupa di berbagai daerah, seperti: Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia, dan lain-lain.
Maka, mulai dibuatlah kongres untuk bisa menyatukan benih-benih persatuan tersebut, guna mempertemukan ide para pemuda di seluruh Indonesia, dengan tujuan dapat menjadi ajang konektivitas gagasan untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita kolektif bangsa: merebut kemerdekaan. Kemudian, pada tanggal 28 Oktober, kongres pemuda II melahirkan trilogi pemuda yaitu “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” sebagai deklarasi persatuan, yang di kemudian hari, disebut sebagai sumpah pemuda. Lahirnya gagasan persatuan dalam perbedaan tersebut, menjadi faktor fundamental dalam menuju kedaulatan bangsa Indonesia; kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah, tetapi tercapai setelah setiap perbedaan yang ada saling bergotong royong, mengesampingkan ego, bekerja sama mewujudkan asa akan kebebasan dan perdamaian yang dirindukan sejak lama. Dengan mengorbankan keringat, pikiran, dan pertumpahan darah di medan pertempuran. Sehingga, kemerdekaan kita adalah buah kemenangan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk golongan tertentu saja.
Namun, mari kita membangun ruang kontemplasi. Mencoba untuk menyelam jauh ke dalamnya. Lalu bertanya secara jujur kepada diri sendiri: apakah benar negeri kita sudah merdeka, dan sudah “tunggal” dalam “bhinneka”? Indonesia memang kaya akan keanekaragaman. Tetapi, masih sering ditemui adanya stereotip anak tiri di bangsa sendiri. Seperti yang direpresentasikan oleh sikap diskriminasi rasial, pembangunan yang terlalu jawa sentris, tidak meratanya penegakan hukum, “arogansi mayoritas” umat beragama, dan tindakan lain yang jauh dari nilai-nilai sila kedua dan kelima Pancasila sebagai dasar negara. Sama halnya seperti ujaran kebencian yang dibarengi rasisme yang berulang kali menimpa masyarakat Papua, narasi hiperbolis dan karikatural dalam menggambarkan masyarakat Tionghoa di media, dan konflik antar agama yang berujung pada perusakan rumah ibadah agama minoritas, bahkan sampai meminta korban nyawa, adalah sedikit dari borok politik identitas yang masih mengakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Tindakan yang justru terkesan kontradiktif dengan kesatuan dalam kebhinekaan yang selama ini lantang dijadikan pegangan. Begitu pun kata “merdeka”; sudahkah kita merdeka? Jika merdeka artinya terbebas dari kolonialisme dan imperialisme, mungkin jawabannya: “iya”. Akan tetapi, masyarakat miskin masih terjajah rasa lapar, daerah-daerah pinggiran negeri masih terjajah minimnya akses pendidikan, kaum-kaum minoritas masih terjajah superioritas sebagai bagian dari politik identitas, kaum-kaum perempuan masih terjajah paham diskriminasi patriarki walaupun emansipasi sudah sering digembar-gemborkan, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk “keterjajahan” yang lain. Maka sepatutnya, perlu kita pertanyakan ulang, apakah kita sudah merdeka? Kita perlu menginterpretasikan ulang, makna akan bineka dan juga merdeka. Walaupun sebenarnya, bineka dan merdeka sama-sama “licin” dalam definisi. Tidak ada makna tunggal, bahkan juga terkesan melahirkan permasalahan paradoksal.
Kemajemukan, atau dalam hal ini kebhinekaan, sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Dia bukan sesuatu yang istimewa. Sebab di setiap negara, pasti ada perbedaan sebagai wujud dari kekayaan pemikiran. Bahkan pada bentuk masyarakat paling homogen sekalipun, tetap ada perbedaan secara individual. Hal ini, selaras dengan hukum logika principium identitatis, di mana setiap entitas, punya identitasnya masing-masing. Tidak ada dua entitas yang benarbenar sama. Sebab beda, adalah unsur utama pembentuk identitas. Dan sebab beda pula, kita mampu diidentifikasi logika, serta dianggap ada secara eksistensial.
Keniscayaan perbedaan ini, seharusnya mampu memupuk pemahaman multietnik jika negara kita terdiri dari banyak bangsa-bangsa, untuk selanjutnya berkembang menjadi sikap plural antara satu dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan identitas aslinya. Lalu bermuara pada prinsip egaliter, di mana antara setiap identitas tidak saling mengupayakan superioritas yang hanya melahirkan kelompok-kelompok tertindas.
Jika kesetaraan terbentuk dari dalam kemajemukan, maka kemerdekaan kita, tidak akan hanya dirasakan oleh golongan tertentu saja. Kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan yang absolut. Akan tetapi, bukankah makna kemerdekaan itu, berbeda-beda setiap orangnya? Mungkin, merdeka bagi orang miskin, adalah jaminan sosial dan kekayaan material; merdeka bagi para wakil rakyat, adalah bekerja tanpa ada demo dan kritik dari setiap kebijakan yangdibuat; merdeka bagi buruh, adalah lepasnya belenggu dari perusahaan untuk bisa mencapai kesejahteraan lewat tangan sendiri; merdeka adalah ide yang wujud aktualisasinya tanpa batas.
Walaupun begitu, ada satu yang pasti. Mungkin, merdeka yang benar-benar sejati adalah “mati”. Merdeka yang absolut ketika hidup hanya ada pada gambaran yang menggantung dilangit-langit diskusi. Sedangkan pada realitas aktual, merdeka yang ada hanya merdeka yang parsial, merdeka yang partikular, merdeka yang distortif.
Walaupun merdeka yang ideal dalam realitas kehidupan seolah hanya utopia, akan tetapi, bukankah karena tujuan untuk mencapai kemerdekaan tersebut, membuat hidup kita menjadi lebih bermakna?.
Tentang penulis: Ramadhan Ega S. Lahir di Blora, 19 November 2002. Pendidikan terakhir SMA N 1 Jepon lulusan tahun 2021. Saat ini aktif sebagai ketua PAC IPNU Jepon dan dewan pembina Forum OSIS Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com