Penyakit tular vektor adalah penyakit yang timbul akibat vektor. Vektor merupakan organisme perantara yang membawa patogen untuk menginfeksi organisme lain. Di Indonesia terdapat banyak kasus penyakit tular vektor, salah satunya di Provinsi Jawa Tengah yaitu Filariasis Limfatik (FL). Filariasis Limfatik (FL) merupakan salah satu penyakit penyebab kecacatan yang berjangka waktu lama. Di Indonesia, penderita FL 90% disebabkan oleh cacing Wucheria bancrofti dan sisanya disebabkan oleh Brugia malayi. Vektor utama Wucheria bancrofti adalah nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes sedangkan vektor utama Brugia malayi adalah nyamuk dari spesies Mansonia, namun dibeberapa area nyamuk Anopheles juga dapat menjadi vektor penularan FL.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2014) mencatat pada tingkat provinsi, Jawa Tengah selalu menempati 10 peringkat teratas dengan jumlah penderita terbanyak di Indonesia. Adapun usaha untuk menekan jumlah kasus FL dengan pelaksanaan Program Eliminasi FL melalui POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) FL yaitu memberikan obat DEC dikombinasikan dengan albendazole setiap setahun sekali selama 5 tahun berturut-turut. Pencegahan lainnya seperti perilaku pengelolaan lingkungan untuk mengendalikan vektor penularan FL yang paling berpengaruh di lingkungan tersebut.
Siklus penularan penyakit FL berasal dari tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung akan melepaskan selubung tubuhnya lalu bergerak menembus perut tengah kemudian berpindah ke otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium 1(L1). L1 kemudian berkembang menjadi L3 sekitar 14 hari. L3 bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka manusia terinfeksi mikrofilaria. Setelah tertular, maka L3 masuk pembuluh limfe dimana L3 tumbuh menjadi cacing dewasa serta berkembang biak menghasilkan mikrofilaria baru. Kumpulan cacing filaria ini dapat menyumbat pembuluh limfe sehingga aliran sekresi kelenjar limfe terhambat yang menyebabkan penumpukan di satu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe pada kaki maupun lengan yang disertai infeksi sekunder dengan fungsi dan bakteri pada bagian lipatan kulit yang mengalami pembengkakan.
Tentunya semua mengetahui penyakit FL akan berakibat fatal seperti kecacatan bila tidak ditangani dengan tepat. Kasus penyakit FL di Jawa Tengah tahun 2017 sampai 2019 tidak melonjak signifikan, namun sedikitnya ada 500 kasus yang terjadi. Hal ini tidak menyurutkan usaha pemerintah setempat untuk memberantas penyakit FL. Bisa dilihat sedikitnya ada 874 puskesmas yang sudah melaksanakan pengendalian terpadu PTM yang tersebut di seluruh kabupaten di Jawa Tengah. Program ini bukan semata-mata untuk menekan angka penderita FL tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat memahami penyakit FL ini.
Terdapat berbagai faktor risiko yang dapat memicu timbulnya penyakit filariasis. Faktor utama penyakit ini tentu saja vektor yang mengandung mikrofilaria yang menggigit manusia. Penyebaran dan penularan penyakit juga didukung oleh perilaku atau pola hidup manusia sehingga terjadi epidemi di masyarakat. Faktor lingkungan juga merupakan salah satu yang mempengaruhi kepadatan vektor filariasis. Faktor lingkungan biologi meliputi tanaman air dan semak-semak. Selain itu adanya genangan air dan kondisi kawasan menjadi wilayah ideal bagi perkembangbiakan nyamuk.
Kasus FL ini ditangani dengan pengendalian vektor secara terpadu sesuai dengan Permenkes No. 94 Tahun 2014. Pengendalian vektor FL di Jawa Tengah sudah dilakukan terpadu dengan meintegrasikan dengan melakukan POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) dengan sasaran minimal 65% total penduduk mendapatkan dan meminum obat, hal ini dilakukan selama 5 tahun berturut-turut. Selain itu terdapat program penanggulangan FL global yang dicanangkan WHO, pasca pemberian obat atu mass drug administration (MDA) yang dibarengi dengan monitoring terhadap nyamuk (xenomonitoring). Pemeriksaan dapat dilakukan secara biomolekuler untuk memastikan nyamuk masih mengandung mikrofilaria atau tidak.
Program POMP dijadikan tindakan pencegahan dini untuk menghindari infeksi mikrofilaria yang terdapat pada nyamuk vektor melalui pemeriksaan molekuler asesmen kapasitas vektor FL, serta menindak lanjuti survei wilayah yang berpotensi berkembangbiak nyamuk sebagai tindakan pengendalian filariasis limfatik yang komprehensif. Selain itu kesadaran masyarakat terhadap lingkungan juga dibutuhkan untuk meningkatkan antisipasi terjadinya penularan filariasis di Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat setempat juga bisa mengambil langkah awal pencegahan dengan menghindari kontak langsung dengan nyamuk (bisa dengan pemakaian kelambu saat tidur maupun gaya berpakaian yang tertutup), melakukan monitoring lingkungan sekitar bila ada genangan air maka bisa segera diantisipasi, selain itu juga membersihkan bak/kolam yang berpotensi sebagai habitat vektor. Tindakan yang dilakukan ini diharapkan mampu menurunkan jumlah penderita penyakit filariasis limfatik di Jawa Tengah.
Penulis : Astrid Helena adalah Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com