Ditanggal ini 117 tahun yang lalu, Kabupaten Blora telah melahirkan pria gigih yang getol memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Ia adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Pria kelahiran Cepu, Blora 7 Januari 1905 itu merupakan Tokoh Nasional yang gigih menentang Kolonialisme Belanda sekaligus menentang Pemerintahan Indonesia karena dianggap irrelevan dengan ajaran Islam.
Murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto itu ialah keponakan dari Marco Kartodikromo yang merupakan penulis anti-Belanda berhaluan kiri. Marco adalah adik kandung dari Kartosoewirjo, ayah dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dan memiliki ayah bernama Kartodikromo. Ayah Kartodikromo adalah Ronodikromo, yang merupakan keturunan Arya Penangsang, adipati Jipang di abad ke-16.
Karir Intelektual Kartosoewirjo dimulai ketika ia berumur 8 tahun, Kala itu ia masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK), kemudian empat tahun berselang masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa), dan setelahnya melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa inilah ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.
Keterlibatan Kartosoewirjo di Syarikat Islam menjadi tonggak awal perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia. Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif dalam menentang Kolonialisme Belanda.
Tercatat, ia adalah orang yang menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Ia merasa Perintah mundur yang merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville hanya akan mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo berprinsip bahwa semua perjanjian yang dibuat pemerintah Belanda hanya akan menyengsarakan rakyat Indonesia. Semua perjanjian hanya ditujukan untuk mengelabui orang orang penting agar mereka taat kepada Hindia Belanda.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat kemudian membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam. Pada 7 Agustus 1949, ia memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Beberapa daerah di Indonesia pun menyatakan diri menjadi bagian dari NII, terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh
Melihat pemberontakan tersebut, Pemerintah Indonesia langsung menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Sempat berlangsung lama, akhirnya aparat keamanan berhasil menangkapnya di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Redaksi