OPINI  

MEMBACA UAS

Soffa Ihsan
Soffa Ihsan

Literasi untuk Kearifan

Disinilah, saya bolak-balik begitu merasakan perlunya literasi. Ya, literasi berarti orang jangan berhenti menganggap cukup ilmunya betapapun sudah banyak baca kitab atau buku. Itupun harus dibarengi dengan pemahaman, pengendapan dan kekritisan untuk menerbitkan pencerahan dan kearifan.

Terpagut penasaran, saya cari di perpustakaan pribadi saya. Ketemulah buku ‘Idiologi dan Utopia’ karya Karl Mannheim, filsuf dan sosiolog Jerman.  Mannheim melahirkan temuan teori baru, yaitu sosiologi pengetahuan yang khusus menelaah hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan, antara idiologi dan politik, antara pikiran dan keyakinan.

Kebetulan, skripsi S1 saya di UGM tentang pemikir yang banyak terpengaruh oleh Max Weber ini.  Ingatan saya melayang pada dosen saya yang asli ‘Londo’, Allohuyarham, Romo Dr Anton Baker yang santun dan semanak, tapi ketat berpikirnya. Saya tak kuasa ‘mendebat’, akhirnya saya diganjar nilai “B”.

Menurut Mannheim,  ideologi  dimaknakan sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang dari pada sarat dengan fakta-fakta empiris. Ideologi bahkan diartikan sebagai pengetahuan yang menyesatkan,  lantaran sifatnya yang sangat subyektif.

Pandangan Mannheim tentang ideologi setangkup dengan kredo bahwa pengetahuan manusia tidak bisa dilepaskan dari eksistensinya. Orang yang menganut ideologi tertentu akan sulit melihat kebenaran dari  pandangan dan teori kemasyarakatan lain.

Sebab, bagi penganut ideologi yang pokok adalah kepentingannya untuk mempertahankan sistem yang dia yakini paling benar. Hal ini terjadi karena kekurangharmonisan the collective unconscious dari kelompok-kelompok yang terlibat.

Dengan pendekatan sosiologi pengetahuan, akan dibongkar  hubungan antara pengetahuan dengan eksistensi kehidupan manusia. Nah, konsep Mannheim tentang ideologi bermanfaat untuk melawan kepengapan, kemandegan, dan kemandulan pemikiran.

Adakah hubungannya ontran-ontran UAS sampai ke Karl Mannheim? Apa perlu hal yang ‘biasa-biasa’ ini harus ‘diangkat’  pada level pemikiran teoritis yang njlimet.  Begini melacak ‘tasalsul’  dari senarai pemikiran ini. Membaca celetukan UAS yang ‘kontroversial’ tersebut, kalau hanya berhenti pada apa yang disampaikannya  tentu ‘dianggap selesai’  (tawaqquf).

Para pengagum dan jamaah UAS merasa apa yang disampaikan ustadznya itu sudah jelas dan sesuai dengan al-Quran. Pamali kalau dipandang salah. Secara UAS menyampaikan secara leterlek dengan mengutip ayat terkait.

Pada ‘maqom’ UAS ini sepertinya tafsir ulang atas teks-teks ‘langit’  sudah membatu karena dianggap sebagai dogma (qoth’iyud dilalah), tidak perlu lagi ikhtiar untuk menangkap kembali makna dan pesan substansial yang terkandung didalamnya.

Padahal, teks (nushush) adalah fakta dinamis dan historis yang dalam ungkapan Hassan Hanafi mempunyai tudung nilai-nilai referensial yang dihayati bersama oleh masyarakat (makhzun nafsi inda al-jamahir). Tak ayal, selalu ada kuasa tafsir dalam sirkulasi teks.

Bagi seseorang yang ‘haus ilmu’ plus non partisan, dia tidak berhenti pada komentar UAS.  Dia akan mencari bacaan lain yang lebih mendalam. Tidak berhenti pada pemaknaan harfiyah, tapi pendalaman materi untuk menyingkap dibalik ‘teks’.

Ini bukan soal debat klasik antara wahyu dan akal. Ini lebih pada soal ‘pencarian’  karena dihinggapi rasa ingin tahu yang menyala-nyala. Jadi sah dan niscaya untuk melanjutkan perburuan makna.

Bagaimana dengan teori Mannheim? Yaiyalah, teori Mannheim ini bisa dipakai guna melihat bagaimana seorang penganut teguh (true believer) ‘merumuskan’ cara berfikir dan  bersikap. Mereka tak mempercayai pendapat lain yang mengkritisi karena apa yang diketahuinya sudah menjasad menjadi ‘idiologi”.

Berarti ini sudah membaku dan subyektif. Pengetahuan yang sudah menjadi idiologi akan kebal kritik. Artinya menjadi tertutup, tidak ada lagi ruang untuk mengulik-uliknya lagi. Bila sudah begini, maka yang mumbul adalah pola pikir dan sikap yang rentan dari tindakan atau aksi yang diluar rasional.

Bukankah sekarang ini sering kita jumpai mereka yang sudah kadung kesengsem pada tokoh, gerakan atau jamaah tertentu akan ‘tertutup’ dari  kritik diluar kelompoknya. Pada Pilpress 2019, sungguh kita saksikan ketegangan antar kedua kubu yang sama-sama merasa menggenggam ‘kebenaran’. Akibatnya, kerusuhan 22 Mei 2019 menjadi bukti pengetahuan yang membeku menjadi idiologi lalu membuahkan anarki. 

Hingga paska pilpres suasana gesekan masih terpampang. Bahkan para pengikut ‘sambung menyambung menjadi satu’  dalam wujud gerakan dan kegiatan. Di medsos masih riuh dengan saling cacimaki. Di grup Wassapp menghujam gombalan yang saling ‘memiringkan’ pilihan. Yah, dalam banalitas kita saat ini ada semburan ‘tsunami’ narasi kosong, kasar dan ketidakwarasan.  

Sampai disini saja. Saya hanya ingin ‘sharing dan saring’ dalam menyikapi gegeran yang tengah mananjak ini. Saya hanya orang awam yang kebetulan cinta literasi. Paling tidak, masih bisa membusungkan dada, bukan ‘awam kosongan’ , tapi awam yang masih punya gairah militan untuk menggali  pengetahuan melalui melek literasi. Rumusnya, biar ‘mati gaya’, namun jangan sampai ‘mati nalar’.

Tentang penulis: Soffa Ihsan hanyalah seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku), Komunitas Literasi Eksnapiter.

 

*Opini di atas adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Bloranews.com