fbpx
OPINI  

MEMBACA DISERTASI ZINA

Ilustrasi
Ilustrasi

Ada ontran-ontran apa lagi ini? Sudah gemuruh goreng-menggoreng di medsos soal adu dukungan hingga erupsi radikal-radikul, tiba-tiba kehebohan “Vina Garut” diikuti heboh viral disertasi soal Zina dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hah, Zina? Loh, kok urusan yang sudah ditahkik sebagai  wilayah dogmatis (ma’lumun min al-dini bi al-dhorurah), tak boleh diulik-ulik lagi menjadi anget kembali. Polemik pun berhamburan. Tak cukup itu, tuntutan untuk mencopot rektor dan penguji menghantam bertubi. Bahkan, Abdul Aziz mendapatkan teror dan segala hujatan. Duh gusti, masalah ‘selangkangan’ lagi-lagi membangkitkan erangan hingga melayang-layang. Sebaiknya tidak perlu sradak-sruduk dulu. Anggap aja heboh halal-hulul zina itu sebagai ‘hiburan’ dari pada gontokan soal ‘berat-berat sedap’  yang tiada habis-habisnya meluapkan ujaran miring sampai mrongos.

 

Ilustrasi
Ilustrasi

 

Banyak yang kepo, ingin tahu sebenarnya bagaimana duduk persoalannya konsep ‘zina halal’ imporan dari Suriah itu yang ditampilkan di ruang akademis? Ada yang langsung melakukan ‘blizts krieg’  serangan kilat sebagaimana kita sama-sama tahulah, tapi ada juga yang ibarat menerima tendangan bola dengan hattrick yang cantik.

Eit,gegara disertasi itu, saya dapat undangan diskusi  untuk obrolkan tema panas  itu. Pada sebuah ruang pertemuan di hotel bersama juga dengan Denny JA yang dikenal maestro lembaga survei, hadir sekitar 20-an peserta dengan latar belakang dan keahlian yang beraneka. Mereka tampak bersemangat  untuk  mendengar paparan dan bersua pikir terhadap isu yang bisa dijelajah dari berbagai lini.

Halaqoh terbatas itu mengundang narasumber KH Mukti Ali MA, ‘santri kluthuk’ alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Dengan membawa segebok kitab kuning, sang narsum kita ini membacakan dan mengulas ta’bir-ta’bir yang termaktub dalam beberapa kitab termasuk kitab karya Sahrur. Wow, ternyata banyak fakta terungkap tentang perilaku para pendahulu kita menyangkut urusan ‘bawah perut’ ini. Sedikit bocoran, ada loh di kitab itu tersimak fakta, beberapa sahabat yang berbuka puasa bukan dengan mencicip kurma dulu, tapi langsung ‘tancap gas’ menyenggamai sariyah (budak perempuan) tiga sekaligus. Wow, kalau orang Indonesia sudah klenger burgerhe he. Potong cerita, cerapan saya dari hasil ‘bahsul masail’ itu, terbukti warna-warni pandangan ulama fikih tentang soalan itu. Artinya, tidak manunggal sebagaimana digembar-gemborkan para du’at sepanjang ini.

Membaca kontroversi disertasi zina itu, saya jadi kembali siuman dari tidur panjang mengamati gerak gerik jagad eseks-eseks. Kontan, saya ingat masa-masa ‘jahiliyah’ dulu. Saat saya menjadi ‘bohemian radikal’  dengan jins belel, rambut gondrong, jaket kombor dan gelang tangan suka keluyuran hingga pelosok negeri ini. Dan itu tanpa funding loh. Dengan bekal pundi-pundi rupiah saya hasil ngumpulkan dari menulis yang ‘tak seberapa pantas’, saya melalang berjihad untuk menekuri ‘fakta’.  Ya, fakta-fakta yang membuat saya gelisah kalang kabut.

Dengan mengendap-endap, saya menjumputi fakta, merenungi, lalu ‘mengabstraksikan’  dengan susah payah sampai pikiran dan badan bonyok. Saya kala itu membayangkan diri saya seperti filsuf Mitchel Foucoult, George Bataille, atau Marques De Sade, sosok-sosok yang menjalani–pinjam istilah Paul Ricoure–‘saintliness of evil’, uji balistik kesantoan dengan menyusuri lorong-lorong kegelapan dan kekelaman yang oleh mata khalayak umum diserapahi jijik, kotor dan najis. Ada ‘transgresi’ atas kebakuan dan kelaziman.Sebuah sikap‘bunuh diri klas’, menjauh dari pencitraan karena ingin mengarungi sedalamnya demi menyibak pernik-pernik realitas yang absurd ini. Dari bacaan sufi, saya begitu terpagut pada sebuah tarekat Malamatiyah, yakni  ‘jalan pencelaan’ yang diamaliyahkan dengan memamerkan keburukannya agar masyarakat menganggapnya sebagai bajingan, bedebah atau julukan kasar lainnya. Ini ikhtiar untuk melumatkan sifat riya’, pamer dan pujian yang banyak orang ingin menangguknya.

Untung dari galang-gulung itu tidak tercecer ke mana-mana. Dalam kondisi tinggal di kamar pengap, dompet yang selalu bokek dan selalu was-was ditagih uang kos bulanan, pada sebuah kampung di Rawajati, Jakarta Selatan—tempat yang sama Tan Malaka menulis Madilog–saya berhasil melampiaskan dalam wujud buku “In The Name of Sex, Santri, Dunia Kelamin dan Kitab Kuning” sampai 578 halaman dan diterbitkan oleh Jawa Pos. Pikiran saya waktu menulis itu, setelah buku terbit, saya hanya ingin seperti pernah diikrarkan oleh novelis Jorge Luis Borges,”Saya berharap, saya akan dilupakan.” Dalam bahasa santrinya, majhulun fil ardhi, masyhurun fil al-sama’, sirna ditelan gempita bumi, mengerlip dalam kabut kesunyian langit.

Begitu jamak cerita di buku itu. Ada sedu sedan, pedih, perih, marah dan protes yang saling berkelindan.  Segebungfakta-fakta gelinjang seksualitas yang membuat ‘tegang’dari segala penjuru.. Bagaimana tafsir atas ‘ayat-ayat langit’ ketika diperhadapkan dengan ‘wanita malam’yang masih mau jalani sholat. Ada sajadah dan al-Quran tertata rapi di ‘ruang kerja’ nya. Terhadap  pula, seorang emak-emak diffabel yang bekerja untuk ‘industri lendir’ dan tak sepi dari konsumen. Adalagi ‘cabai-cabaian’, belia yang menawarkan tubuhnya demi hedon semata. Dikalangan jetset, menghablur deretan ‘telik sandi’ seperti one nitght standing, orgy, gangbang, swinger, striptis, pijat spa dan lainnya. Kehidupan samen laven yang saya lihat dengan mata telanjang pada teman kos saya dan juga ada gay yang ‘nikah resmi’  dengan bule Jerman. Dan masih banyak kisah-kisah yang menujah-nujah hati saya hingga saya tak mampu menuntaskan jawaban. Yang penting sudah jadi buku, titik. Anthing goes, biarlah berjalan seliarnya dan meremujung sejauh ujung. Sekarang, saya yang sudah ‘hijrah’ ini kalau mengingatnya seakan mumbul ‘getaran’ seismik yang cukup mengguncang hati saya.  Ah, gara-gara ramai disertasi zina ini, saya ingin kembali bohemian lagi. Alamak!

Di buku itu,juga saya beberkan jungkir balik saya membaca banyak kitab kuning untuk ‘mengimbangi’ hasil bergulung-gulung fakta yang ‘mutasyabihat’ itu. Saya menyigi lembar demi lembar kitab kuning dengan sekuat pikir. Termasuk pemikiran Sahrur, saya cuplik tentang konsep ‘al-had al-adna’dan al-had al-a’la’.

Aha, saya temukan fakta-fakta ‘abnormal’ zaman kekhalifahan hingga ragam pandangan ulama fikih. Dari Akbar S Ahmed, saya mendapati bongkaran fakta tentang harem-harem yang memenuhi topkapi pada kekhalifahan Turki Utsmani. Oh, begitulah perjalanan kekuasaan yang menampilkan semacam ‘pornokrasi’ yang kini sering dipuja dan hendak diwujudkan lagi. Atau bolehlah saya sebut, sejarah telah mengisahkan tentang ‘seks imperium’.