Praktik baik gelaran inisiasi seni-budaya atraktif dan edukatif bertajuk #1 Nglaras Jagat Ngloram di area situs Ngloram Desa Ngloram Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, provinsi Jawa Tengah memberi arah dan pandangan baru bahwa pendekatan sejarah budaya (historical culture) memberi manfaat materi rancang formulasi sosial-ekonomi yang positif. Berbekal dari permulaan tersebut, rasanya “memasadepankan masa silam” dapat menjadi BRAND DNA untuk pijakan city branding Blora. Tentu memerlukan kajian mendalam guna menentukan City Brand Blora.
BRAND bukanlah jenama. Bukan pula logo. Begitu kata Ikhwan Saefulloh, Brand Creator di IKSA. Dia mengatakan, “Brand itu laksana angin, tak tampak tapi terasa ―Brand adalah persepsi publik atas produk. Brand dibangun atau terbangun berdasar pada nilai (value)”.
Nilai (value) itulah yang akan menghantarkan produk atau obyek memiliki “ruh”, serta alasan yang mendorong suatu produk atau objek menjadi hidup. Bahkan, nilai (value) menjadi kunci agar brand dapat bertahan lama. Maka, simpelnya brand adalah value (nilai) + call to action (CTA). Yakni, identitas yang mampu menggerakkan.
Jenama, logo, narasi (content), dan ragam aktivitas hanyalah serangkaian aktivitas untuk memperkenalkan atau mempublikasikan nilai (value). Beragam aktivitas inilah yang disebut branding. Dan alat atau material branding sering disebut brand identity. Buahnya adalah “ruh”/brand atas produk atau objek.
Praktisi Branding, mayoritas menitikberatkan bahwa, BRAND DNA adalah kunci. Keberadaannya semacam core business, penentu produk dan arah bisnis selanjutnya. BRAND DNA yang kuat dan tepat berpengaruh kuatpula pada keberlangsungan brand yang akan dibangun.
Memasadepankan masa silam. Kenapa?
Belajar dari gelaran inisiasi seni-budaya atraktif dan edukatif bertajuk #1 Nglaras Jagat Ngloram yang diselenggarakan pada Sabtu-Minggu (19-20/11/2022) di area Situs Ngloram Desa Ngloram Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Perhelatan ini memberi arah dan pandangan baru bahwa, kegiatan yang dirancang dengan pendekatan sejarah budaya (historical culture) mampu merangkul-menggerakkan banyak elemen, seperti akademisi, masyarakat, seniman, budayawan, wirausahawan, pegiat sosial-budaya, serta pemberdaya.
Gelaran inisiasi seni-budaya atraktif dan edukatif bertajuk #1 Nglaras Jagat Ngloram yang, berpijak pada sejarah masa silam, seperti sosial, budaya, politik, dan hal hal yang terkait dengan seni dan hal hal yang diprioritaskan oleh kelompok mampu menghadirkan rancang bangun (konsep) acara yang iconic, serta mampu menggerakkan atau call to action. Dan, dampak dari perhelatan bisa dirasakan seusai acara. Misal, pasar tiban sampai tulisan ini dibuat masih dan dari data yang ada pedagang terus bertambah. Lalu, sisi pendidikan, banyak akademisi yang menjadikannya objek penilitian serta aktivitas keagamaan seperti ngaji budaya juga mulai bergeliat.
Acara #1 Nglaras Jagat Ngloram menghadirkan ketokohan atau sosok Sunan Ngudung serta lebih jauh dari itu sejarah Wura-wari. Adalah fakta baru perhelatan yang diasosiasikan dengn tokoh masa silam mampu memberikan experience kuat pun mengoyak emosional masyarakat. Buahnya mampu menggerakkan dan meneguhkan konsep dari-oleh-untuk.
Kata kunci #1 Nglaras Jagat Ngloram adalah memasadepankan masa silam; pendekatan information-intellegence system konsep acaranya historical culture; operational system perhelatan acaranya berbasis dari masyarakat-oleh masyarakat-untuk masyarakat. Penulis tidak hendak “mendewakan” perhelatan #1 Nglaras Jagat Ngloram. Di luaran sana banyak perhelatan serupa dan menghasilkan dampak yang lebih besar kebermanfaatannya. Studi kasus acara #1 Nglaras Jagat Ngloram sebagai konteks city branding Blora.
Kabupaten Blora dengan ragam potensi yang dimiliki. Haruslah selektif dalam menentukan identitasnya. Merujuk rumus di atas perlu dan disiplin menerapkan value (nilai) + call to action (CTA). Sehingga mampu membuat “pasar” baru, memberi output akselerasi pembangunan, dan menghasilkan outcome kesejahteraan masyarakat.
Seni barongan, mungkin bisa menjadi produk seni-budaya yang dapat diangkat menjadi daya tarik; sate, mungkin juga bisa diangkat menjadi daya tarik; Opor ayam, juga bisa diangkat menjadi daya tarik; Samin, juga bisa diangkat menjadi daya tarik. Dan, tentu tidak hanya yang tertulis di sini, sangat banyak aset yang dimiliki Blora: Seni, budaya, situs, prasasti, tokoh, sejarah lampau seperti Wura-wari, Sunan Ngudung, Jipang dan lain lain, era agak baru seperti Samin Surosentiko, Tirto Adi Surya, Pramoedya Ananta Toer dan lain sebagainya. Apapun yang ada di Blora bisa dijadikan daya tarik. Pertanyaannya, sejauh dan sekuat apa aset yang ada menarik khalayak baik dari dalam maupun dari luar Blora.
Belajar dari Purwakarta, Jawa Barat. Saat kepemimpinan Dedi Mulyadi, dari sekian mungkin ratusan aset intangible maupun tangible, Purwakarta saat itu memilih mengangkat sate maranggi. Tidak lainnya. Kenapa?
Diperoleh dari dokumen perencanaan city branding Purwakarta, aset yang dimiliki Purwakarta dan mampu menarik warga dari luar, seperti kala warga Jakarta menuju Bandung lalu mampir Purwakarta adalah SATE MARANGGI. Bukan lainnya. Berdasar alasan itu, Purwakarta menjadikan sate maranggi sebagai daya tarik, dengan memilih tagline PURWAKARTA KAMPUNG MARANGGI.
Purwakarta Kampung Maranggi yang dipilih menjadi tagline, lalu diikuti slogan “INGAT MARANGGI INGAT PURWAKARTA!” Tidak berhenti pada tagline dan slogan. Serangkaian brand activities dilakukan seperti membuat jingle, pembangunan sarana dan prasarana, quality product sate maranggi, serta ragam kegiatan seperti festival dan lain lain. Hasilnya, bisa pembaca cari sendiri! Wowww dahsyat.
Kembali ke pembahasan, alasan kuat penulis berpendapat hal ini, karena; a) Blora memiliki sejarah masa silam yang sangat banyak dan berpengaruh, b) Masyarakat Blora masih kental dengan tradisi dan budaya, c) Pelaku sejarah masa silam (sekarang Blora) merupakan tokoh utama, seperti: tokoh kepeloporan, inisiator, penentu. Maka dari itu, penulis memberanikan (mewacanakan) memasadepankan masa silam sebagai BRAND DNA city branding Blora.
Maksud dari memasadepankan Masa Silam, yaitu menghidupkan nilai nilai masa silam yang dimiliki Blora untuk ruang penelitian-kajian, experience, social laboratory, sehingga berdasar dari BRAND DNA memasadepankan Masa Silam dapat diikuti dengan tagline “BLORA; civilization university”, “BLORA, atau; civilization laboratory”, atau BLORA; dictionary nusantara, dan lain lain.
Kira city branding Blora bila diruntutkan begini;
- DNA : memasadepankan masa silam
- Tagline : BLORA; civilization university, BLORA; civilization laboratory, BLORA; dictionary nusantara, dan atau lainnya
- Tipping Point : (Blora kekinian) mewarisi sejarah masa silam sebagai mandala jawa yang dapat mengahasilkan
- Slogan : BICARA PERADABAN, BACA BLORA! atau
BICARA NUSANTARA, BACA BLORA! Atau …
Skema di atas menempatkan Blora sebagai ruang pembelajaran, ruang penelitian, ruang kembali “ke masa silam”. Tentu konteks ini, segmen utamanya akademisi, penelitian, pegiat sejarah, dan pusat studi terkait lainnyayag dapat menghadirkan pengunjung dari luar Blora. Hasil kajian, penelitian dapat membuahkan produk produk seni-budaya, seperti desain batik, tari, musik, pangan, dan teknologi lainnya.
Kegiatan yang dapat dilakukan, seperti festival festival yang diasosiasikan kepada tradisi dan budaya lokal: wisata atraktif dengan mengangkat tokoh yang ada (asosiatif-interest). Dan tentu, berpijak pada masa silam, akan mel
Akhir kata, ini sekadar otak-atik matuk. Kengawuran tentu mendominasi.*
Tentang penulis: Ahmad Rouf, pegiat literasi, Brand enthusiast.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com