Ngawen – Berkembangnya agama Islam di sebuah daerah merupakan hasil jerih payah dari ulama yang menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat. Di Bandungrojo, menurut cerita lisan masyarakat setempat agama Islam disebarkan oleh seorang ulama yang bernama Mbah Alwi.
Kyai Musyafa’ (55), imam Masjid Baitul Huda Bandungrojo memaparkan kisah perjalanan dakwah Mbah Alwi di Desa Bandungrojo. Selain merupakan tokoh agama masyarakat setempat, Kyai Musyafa’ menurut pengakuannya masih memiliki garis kekerabatan dengan ulama karismatik penyebar agama Islam di Desa Bandungrojo, Mbah Alwi.
“Mbah Alwi adalah seorang ulama keturunan Arab dan utusan dari Solo. Mbah Alwi berdakwah di daerah Bandungrojo. Karena keberhasilannya dalam berdakwah, Mbah Alwi diberi hadiah tanah bebas pajak di daerah Karangrowo. Mbah Alwi menikahi wanita dari Lasem Rembang yang masih keturunan Mbah Sambu,” papar Kyai Musyafa’ mengawali ceritanya.
Mbah Sambu merupakan ulama yang berdakwah di pantai utara Jawa Tengah. Menurut beberapa sumber, Mbah Sambu bernama asli Syeh Abdurrahman Basyaiban. Mbah Sambu dipercaya sebagai keturunan Rasulullah dari marga Syaiban. Dimakamkan di kompleks Masjid Agung Lasem Rembang.
Mbah Alwi merupakan sosok pendakwah yang tegas dan melawan bentuk-bentuk penyembahan berhala. Menurut cerita Kyai Musyafa’, Mbah Alwi melarang segala bentuk sesajen dan menghancurkan banyak patung peninggalan kebudayaan Hindu – Syiwa.
“Dulu Desa Bandungrojo masyarakatnya menganut ajaran Hindu – Syiwa, Mbah Alwi kemudian melarang praktek sesajen dan penyembahan berhala. Cara berdakwah Mbah Alwi kemudian dilanjutkan oleh keturunannya, Mbah Umar,” lanjut Kyai Musyafa’.
Mbah Alwi dimakamkan di tepi sungai yang ada di desa Karangrowo. Kondisinya tidak terawat, di sekitar makam ditumbuhi banyak rumput. Namun di makam Mbah Alwi sendiri, tidak ada satu batang pun rumput yang tumbuh.
Cara berdakwah Mbah Umar lebih tegas dari pada pendahulunya. Mbah Umar hidup pada era setelah kemerdekaan dan memimpin perjuangan untuk menghentikan pergerakan partai komunis di kawasan Ngawen saat itu.
“Mbah Umar melarang para pemuda Bandungrojo berjudi, minum arak, menonton tayub bahkan menonton Kethoprak. Bagi pemuda desa yang melanggar, Mbah Umar akan menghukum dengan cara menyuruh mereka mengambil pasir sungai yang akan digunakan mengurug halaman masjid,” terang Kyai Musyafa’. Berkat ketegasan cara berdakwah Mbah Alwi yang dilanjutkan oleh Mbah Umar, Desa Bandungrojo Ngawen dikenal dengan kawasan santri.
Ketika masa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, Mbah Umar memimpin para pemuda mempertahankan daerah Bandungrojo dari cengkeraman pemberontak. Ia juga memerintahkan para pandai besi di Desa Bandungrojo untuk menempa banyak senjata tajam yang akan digunakan para pemuda untuk membela diri dari serangan pasukan pemberontak.
Reporter : Habibi