Pengertian tersebut memuat cakupan yang sangat luas tentang kehadiran wayang krucil/wayang klithik. Sebagai seni pewayangan, wayang klitik jauh dari pengaruh istana, memiliki bentuk pertunjukkan yang beragam, begitu dihayati dan dimiliki serta akrab dengan pendukungnya. Sepanjang daerah-daerah pedesaan, wayang ini masih kental dengan sifat-sifat kepedesaannya. Oleh karenanya, wayang krucil Blora menjadi milik semua warga. Seni rakyat, dan lagu rakyat ini hingga sekarang tidak pernah diketahui siapa penciptanya. Pada awal penciptaannya, dari salah seorang anggota masyarakat. Selanjutnya, tercipta musik atau lagu pendukungnya. Setelah itu baru masyarakat mengklaim sebagai miliknya.
Kehidupan wayang krucil di Kabupaten Blora masih dihubungkan dengan hal-hal yang sakral. Hal ini seperti apa yang dialami Mitra lala, wayang krucil yang masih bertahan hingga saat ini di Kabupaten Blora. Ia dapat mendalang karena wangsit atau wahyu.
Pada saat itu ia bermimpi disuruh menggantikan mendalang seorang tua. Kemudian dengan telanjang dada ia duduk di samping wayang dan ternyata langsung bisa mendalang, seperti apa yang terdapat dalam mimpi. Ciri yang menarik dalam pertunjukkan wayang Krucil Kabupaten Blora adalah adanya iringan krucilan. Dalang dalam memainkan wayang selalu diiringi krucilan ini yang ikut meliukliukan tubuhnya mengimbangi semaraknya gending krucilan.
Wayang krucil bukan sekadar tontonan. Kehadirannya juga seperti wayang yang lain. Dalam pertunjukkanya mengandung falsafah yang sarat dengan tuntutan. Jumlah boneka wayangnya tidak banyak, hanya 40 buah tanpa kelir. Instrumen musiknya berlaras slendro sera terdiri dari: kendhang, 2 buah saron (dengan 9 wilah), kempul laras nem, kethuk, dan kenong laras nem. Menurut Sajid, fungsi wayang ini untuk mengamen ke kota semasa di desa terjadi paceklik dan sewaktu di desa tak ada pekerjaan (sebab masa menggarap sawah telah usai).