Karena besarnya pengaruh dan kesaktiannya, setelah wafat, makamnya masih dianggap keramat. Setiap tahun pada hari Jumat Pon selalu diadakan upacara Manganan Janjang. Pada upacara itu, orang dalam dan luar desa, membawa sesaji seperti tumpeng bucu, panggang ayam dan jajan pasar, ternak misalnya kambing atau lembu. Bila tumpeng bucu dan panggang ayam oleh anak-anak gembala diminta harus diberikan. Setelah itu, nasi dan jajannya dikumpulkan menjadi satu, dan orang-orang menunggui hingga upacara selesai. Pada upacara itu dipertunjukkan wayang krucil sebagai peninggalan keduanya. Setelah upacara selesai diadakan selamatan dilanjutkan pembagian nasi secara merata ke masyarakat yang ada untuk dibawa pulang. Menurut kepercayaan masyarakat, upacara tersebut akan memberikan pertanda keadaan yang akan datang. Apabila dalam upacara tersebut nasi yang dibagikan kurang, pertanda di tahun yang akan datang masa paceklik (kurang pangan). Apabila daun pembungkusnya kurang, pertanda akan terjadi harga tembakau mahal. Apabila air yang ada dalam guci (genthong) itu kurang, pertanda akan terjadi kemarau panjang. Adapun, barang-barang peninggalan keduanya, antara lain:
- Wayang krucil atau wayang klithik dan seperangkat gamelan,
- Guci (air dalam guci tersebut dapat digunakan untuk upacara penyumpahan),
- Upacara penyumpahan,
- Damar sewu,
- Baju ontokusumo,
- Kendi,
- Mustoko rumah.
Wayang krucil dan klithik sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu berasal dari perkataan yang bermakna ‘kecil’. Klitik berasal dari kata ketik, mengingatkan akan perkataan ‘setitik’ atau suara benturan kayu klithak-klithik, yang merupakan bahan baku wayang krucil. Kayu yang dipakai bahan wayang ini adalah kayu yang berserat kuat. Tidak jarang aspek-aspek pertunjukan pada wayang krucil didasarkan pada kepercayaan yang mereka anut, dan diyakini mempunyai kekuatan magis. Namun, sebaliknya banyak aspek pertunjukkannya yang bersifat hiburan.