Baru kemudian, berkat nasihat gurunya, Ki Gede Senori, akhirnya mereka bisa menerima dengan ikhlas segala apa yang telah terjadi dan menimpa dirinya.
Arya Penangsang, begitu tiba di tempat itu segeralah menghampiri keempat orang yang sedang duduk termangu tersebut. Lain halnya dengan Soreng Pati, begitu melihat kuda tunggangan anaknya datang dengan ditunggangi orang lain, seketika hatinya yang semula agak reda langsung kembali membara karena teringat akan Riman, anaknya. Dia langsung berdiri dan dengan marah akan menghampiri sang penunggang kuda. Begitu pula saudarasaudaranya, Soreng Rangkut dan Soreng Rana. Mereka mengira orang tersebut telah merampas kuda milik Riman.
Akan tetapi, kekuatan mereka seakan tiba-tiba sirna begitu orang yang menunggang kuda tersebut mengibaskan tangannya memberi isyarat agar mereka menahan diri. Seketika mereka jatuh terduduk, seakan-akan ada kekuatan gaib mahadahsyat yang memaksa mereka untuk duduk menghormat. Sadarlah sekarang bahwa mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang bukan sembarangan. Mereka pun tetap duduk dengan mata menatap tajam pada Arya Penangsang.
Arya Penangsang lalu memperkenalkan diri pada keempat orang guru dan murid tersebut. Mereka berempat kagum akan kesetiaan Adipati tersebut. Kemudian, Arya Penangsang menanyakan apakah mereka tahu siapa pemilik kuda hitam yang ditungganginya itu. Seketika keempat orang tersebut serentak menjawab “Riman”. Begitu mendengar jawaban tersebut, Arya Penangsang lalu memberi nama kuda hitam yang ditungganginya dengan sebutan “Gagak Riman” karena kuda tersebut berbulu hitam mulus laksana burung gagak dan pemiliknya bernama “Riman”. Dalam perkembangan selanjutnya, nama “Gagak Riman” sering juga disebut “Gagak Rimang”.