fbpx

LEBIH DEKAT DENGAN IMAM FATAWI, VOKALIS KYAI KANJENG

IMAM FATAWI, VOKALIS KYAI KANJENG
Imam Fatawi, seniman asal Blora vokalis Kyai Kanjeng

Kotagede, Yogyakarta– Siapa tak kenal dengan gamelan orkestra Kyai Kanjeng? Komunitas musik ini dikenal dengan gaya bermusiknya yang tidak biasa. Kombinasi antara gamelan dan alat musik orkestra, dan sosok Emha Ainun Najib membuat komunitas ini mudah dikenal masyarakat luas.

Sosok Imam Fatawi, seniman kelahiran Dusun Talok Desa Gedangdowo Kecamatan Jepon, Blora, 19 April 1971 lekat dengan kelompok musik ini. Suami dari Suci (39) dan ayah Mahdeya Aswangga Khaizuran (3 bulan) ini menceritakan pengalamannya bergabung dengan Kyai Kanjeng.

 

 IMAM FATAWI, VOKALIS KYAI KANJENG
Imam Fatawi, seniman asal Blora vokalis Kyai Kanjeng

 

Berikut kutipan wawancara Bloranews.com dengan Imam Fatawi, di sela kesibukannya sebagai vokalis Kyai Kanjeng.

Imam Fatawi dan Kyai Kanjeng

T: Kang Imam, sejak kapan bergabung dengan Kyai Kanjeng?

J:  Sejak bulan Juli 2000 saya bergabung dengan Kyai Kanjeng dengan melamar ala saya sendiri hahaha.. yakni menyerahkan fotokopi piagam-piagam kejuaraan lomba nyanyi dan rekaman vokal saya.

Zaman dulu, saya sering ikut dan menjuarai lomba-lomba karaoke, terutama dangdut. Dan 17 trofi hasil lomba yang saya bawa pulang ke Blora, saya telantarkan di kamar. Tanpa saya sadari, disimpan ayah saya ditata dengan rapi di almari di rumah, rapi sampai sekarang. Top banget almarhum bapak saya.

Lamaran ke Kyai Kanjeng langsung diterima. Esok hari setelah menyerahkan ‘berkas’ itu lewat pos, saya ditelfon oleh Kyai Kanjeng ke kos saya, bahwa saya diterima dan diajak latihan untuk pementasan perdana di Jakarta.

Jadi, saya ini bukanlah seniman yang mumpuni, jauh banget. Saya hanya diberi hobi  dan kebisaan menyanyi saja. Karunia yang perlu saya syukuri karena dengan ini menjadi penyambung dimana saja.

T: Selama bersama Kyai Kanjeng, pernah tampil dimana saja? dalam agenda apa yang paling berkesan, dan kenapa?

J: Hampir di seluruh kabupaten mana saja saya ikut. Di Kodim Blora tahun 2017 juga ikut, di Alun-alun Blora tahun 2000 saya masih jadi penonton, sebulan kemudian saya masuk ke Kyai Kanjeng.

Yang berkesan diantaranya, saat tampil di pedalaman Kalimantan di Pontianak, Sanggau, Mempawah, Rasau Jaya sekitar tahun 2001, di daerah pedalaman asli Kalimantan.

Juga, di kaki gunung Slamet, area berlumpur licin menuju lapangan, semua personel mengusung gamelan tahun 2003. Di sinilah awal mula ada istilah Maiyah di Kyai Kanjeng.

T: Kyai Kanjeng kerap tampil di luar negeri, apakah saat itu Kang Imam ikut? Penampilan di negara mana yang paling berkesan, dan kenapa?

J: Kalau di luar negeri, ada yang sebagian ikut, ada yang tidak. Yang tidak ikut itu di Australia, dan Finlandia . Saya ikut manggung pas tampil di Mesir (2003), Malaysia(2003,2005,2006) rangkaian Inggris- Skotlandia-Jerman-Italia (2004), Belanda (2009), Abu Dhabi (2009), Maroko, dan Hongkong (2013).

Semuanya berkesan , masing-masing khas. Tapi memang Belanda dengan kota Amsterdamnya, sungguh berkesan di hati saya. Di Amsterdam, sepeda sebagai alat transportasi di sana dan lalu lintasnya rapi. Di sana juga sangat melindungi satwa.

Juga di Mesir, dengan bekas  sejarah dan penampakan peradabannya yang tinggi. Sayangnya, saat berkunjung ke sana, belum ada medsos seperti sekarang ini.

T: Kang Imam pernah menyanyikan lagu berbahasa ibrani, Hevenu Shalom Aleichem. Bagaimana kesan Kang Imam saat melagukan nyanyian itu?

J: Saya sangat bersemangat, karena memang lagu ini suluk awalnya harus dibawakan secara Seriosa. Dalam proses latihannya dulu, lama-lama ada ide mending dibawakan secara Seriosa. Jadi, harus konsentrasi full power. Otomatis saya jadi semangat melantunkannya.

T: Bisa diceritakan secara singkat, kedekatan Kang Imam dengan Emha Ainun Najib? bagi Kang Imam, Emha Ainun Najib itu se-spesial apa?

J: Beliau guru sekaligus bapak bagi saya. Saya ketemu dengan beliau di setiap Maiyahan dan kadang di setiap latihan rutin Kyai Kanjeng. Ide beliau begitu cemerlang, dan banyak.

Ketika beliau bisa rawuh di latihan Kyai Kanjeng maupun  ketika beberapa jam lagi akan naik panggung, pasti mengajak briefing beberapa menit untuk merembug hal yang terbaik, untuk dimunculkan di awal acara nanti, agar tepat sasaran, titis.

Maka, pasti selalu berbeda tiap acara Maiyahan di satu tempat dengan tempat lainnya. Awal acara bisa beda-beda cara memulainya. Bisa dengan Indonesia Raya dulu, disambung lagu Syukur, bisa jowo-jowo dulu. Setelah itu, selebihnya mengalir berdasarkan situasi di panggung nanti.

Jadi, tidak mengenal list lagu apa yang akan dimunculkan nanti sampai selesai. Yang disebutkan lagunya ya hanya di awal saja, satu dua lagu.

Dirembug saat briefing tadi untuk mmbuka acara. Bagi kami awal penampilan sangat menentukan pas-nya dengan tema besar di panggung. Sesuai siapa yang mengundang, bagaimana situasi audiens, bagaimana prosentase segmen  audiens.

Akrab, egaliter, sungkan, bersahaja, dan elegan. Begitulah kira-kira saya mengistilahkannya, karena enggak punya cukup bahasa untuk mnggambarkannya.

Beliau ada kesamaan persis dengan pemikiran bapak saya waktu masih sugeng (hidup, jw) dulu. Sebagai pegawai departemen agama, bapak saya ditugaskan membina keagamaan rutin di Rutan Blora. Bapak saya sering berpesan, meskipun dalam penjara, usahakan tetap semangat.

Bapak saya terus berpesan kepada penghuni Rutan, kalian itu sedang dibersihkan dosanya. Lebih baik dari pada yang di luar sana, yang tidak ketahuan kejahatannya. Antara bapak saya dan Emha Ainun Najib, ada kesamaan inti tentang hal tersebut.