Blora, BLORANEWS.COM -Terungkapnya lambatnya penanganan dugaan korupsi honor narsum DPRD Blora tahun 2021 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora telah memicu keresahan dan kritik publik. Lambatnya penerbitan Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) selama lebih dari satu tahun setelah pelaporan, menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan terkait kinerja Kejari Blora.
Kasus ini bermula dari beredarnya dokumen rekapitulasi honor narsum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blora tahun 2021 yang anggarannya mencapai Rp 11 miliar .
Atas hal tersebut kemudian pada bulan januari 2023, ada kelompok masyarakat yang melaporkannya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora pun bergerak cepat dengan melakukan serangkaian tindakan.
Namun anehnya, setelah sekian lama, kejaksaan telah mengambil keterangan para anggota DPRD, pejabat Sekwan, meminta dokumen-dokumen, Kejaksaan Negeri Blora baru menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan baru diterbitkan pada tanggal 27 Juni 2024.
“Kami heran dengan hal ini, terus tindakan yang dilakukan oleh aparatur Kejaksaan selama ini namanya apa. Mereka telah mengambil keterangan-keterangan para anggota DPRD Blora, telah meminta dokumen-dokumen, kok akhir Juni tahun ini baru diterbitkan Sprint Lidik”, ungkap Anindya Icchanaya Devi, SH.MH., aktivis anti korupsi dari Jateng Corruption Watch (JCW). (15/07)
Menurutnya, tidak seharusnya Kejaksaan berbuat seperti itu, karena hal itu berpotensi cacat hukum, pelanggaran hukum.
“Tidak seharusnya aparatur Kejaksaan berbuat seperti itu, sudah memeriksa orang, kemudian Surat Perintah Penyelidikannya baru turun belakangan. Hal ini berpotensi melanggar hukum dan menyalahgunakan wewenang” tegasnya.
Menurutnya, jika dikait-kaitkan dengan beberapa tindakan atau statement aparatur Kejaksaan, hal ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik, diskriminasi hukum.
“Beberapa waktu lalu, dari sebuah video yang beredar, kami melihat, mendengar pernyataan dari pejabat di Kejaksaan Negeri Blora dalam sebuah forum di pendopo yang mengatakan (pengembalian kerugian keuangan negara, kalau dipahami berati sudah ada audit dari auditor, misalnya BPK/BPKP, ingat itu. Pengembalian kerugian keuangan negara, berati ranahnya sudah penyidikan, kalau masih di penyelidikan baru dinamakan potensi adanya kerugian keuangan negara atau daerah). Jika hal ini kita kaitkan dengan lambatnya proses penerbitan Sprint Lidik, lambatnya permohonan audit investigatif, seolah olah lambatnya ini sudah direncanakan, terstruktur. Sengaja memberikan kelonggaran waktu, kesempatan kepada para anggota DPRD Blora untuk mengembalikan dulu (potensi kerugian negaranya), biar tidak dapat diproses hukum pidana korupsi. Ini kan diskriminasi, tajam ke bawah, tumpul ke atas” jelasnya, bahkan ada potensi terjadinya korupsi politik.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, para anggota DPRD Kabupaten Blora beramai-ramai mengembalikan ke Kas Daerah atas sebagaian honor nara sumber pada tahun anggaran 2021. Diperkirakan sampai dengan awal Juli 2024, telah terkumpul sekitar 5,3 milar rupiah.
Di tempat terpisah, Rifa’i dari Lingkar Studi Kerakyatan mengatakan “jika ini dibiarkan berlanjut, ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum semakin nyata. Sudah sekian lama dilaporkan, setahun lebih lamanya, kok baru akhir juni ini, diterbitkan sprint lidik” ujarnya.
Selanjutnya dirinya meminta, “Kami mohon kepada Kejaksaan Negeri Blora untuk serius menangani kasus ini. Jangan sampai kasus ini menjadi mangsa oknum yang tidak bertanggung jawab. Penting kiranya kepada Kejaksaan untuk memberikan penjelasan atas hal ini kepada publik, dengan sejelas jelasnya, setransparan mungkin” pungkasnya. (Dj)