Berpuluh tahun sebelum Laksamana Cheng Ho menginjakkan kaki di bumi Nusantara (Indonesia), ‘Walisongo’ atau yang dikenal sebagai ulama Islam generasi pertama telah melakukan dakwah Islam di beberapa daerah di Indonesia. Pengkhotbah yang berkualitas berasal dari Turki, Samarkand, Mesir, Maroko, Palestina, dan Persi. Khalifah Mehmed I dari Khilafah Utsmaniyah, disebut sebagai penyelenggara awal perjalanan ‘Walisongo’ ini ke Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia. Yang kemudian dibagi menjadi lima periode dakwah, dan para Ulama yang merupakan keturunan “Alawiyin” dari Hadramaut, lembah Yaman yang lengkap dengan mata air sucinya itu kemudian menjadi panutan seluruh Nusantara.
Mayoritas masyarakat menganggap bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari daerah setempat dengan sebutan Kyai atau Ulama dan memberi mereka nama lokal dan berbicara dalam bahasa Jawa. Yang pasti, saat itu juga terjadi proses akulturasi dengan cara perdagangan dan pernikahan dengan penduduk setempat.
Sementara itu, pada abad ke-15 di masa Dinasti Ming (1368-1643), orang Tionghoa di Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, khususnya di Jawa. Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang He) atau lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang, pada tahun 1410 dan pada tahun 1416 pernah memimpin misi dan pendaratan armadanya di pantai Simongan atau Semarang Jawa Tengah. Selain bertujuan menyebarkan agama Islam, beliau juga merupakan utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit.
Rupanya kakek Cheng adalah keturunan Sayyid Ajjal Syams al-Din Omar, seorang Persia yang bertugas dalam administrasi Kekaisaran Mongol dan merupakan Gubernur Yunnan pada awal Dinasti Yuan. Leluhurnya bernama Bayan sehingga mungkin ditempatkan di garnisun Mongol di Yunnan. Kakeknya menyandang gelar Haji. Ayahnya memiliki nama marga Ma dan gelar Haji. Menunjukkan bahwa mereka telah melakukan ziarah ke Mekah.
Pada kesempatan berikutnya, dalam rangkaian kunjungannya ke penjuru dunia, Laksamana Cheng melakukan perjalanan ke Nusantara pada tahun 1424, pertama-tama ia menuju ke Palembang dalam rangka menganugerahkan stempel resmi dan surat pengangkatan kekaisaran kepada Shi Jisun, yang ditempatkan di kantor Komisaris Pengamanan, dibawah pengawasan Kementrian Perang.
Setelah kedatangan Cheng Ho di Nusantara, Sultan dan Sultana Malaka mengunjungi Cina, memimpin lebih dari 540 rakyat mereka, dengan membawa banyak upeti. Sultan Mansur Syah (1459–1477) kemudian mengutus Tun Perpatih Putih sebagai utusannya ke Tiongkok, dengan membawa surat dari Sultan kepada Kaisar Ming. Surat itu meminta seorang putri kekaisaran untuk dijadikan istri. Pada tahun 1459, seorang putri bernama Hang Li Po atau Hang Liu dikirim dari Tiongkok untuk menikah dengan Sultan. Sang putri datang bersama dengan rombongan terdiri 500 pemuda berpangkat tinggi dan beberapa ratus pelayan wanita. Mereka akhirnya menetap di Bukit Cina atau diterjemahkan kemudian sebagai Lembah Cina.
Besar kemungkinan episode itu terjadi pula di Jawa. Isyarat itu tampak pada Babad Tanah Jawi, Raden Patah lahir pada tahun 1455, dan merupakan putra dari Raja terakhir Majapahit, Brawijaya, dengan seorang selir Tionghoa yang merupakan putri seorang pendakwah dan saudagar kaya muslim Tionghoa, Syeich Batong atau Tan Go Hwat dari Gresik, Jawa Timur. Karena permaisuri Ratu Dwarawati dari Cempa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Tionghoanya yang bernama Siu Ban Ci itu kepada Arya Damar, putra sulungnya dari Permaisuri, penguasa Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, selir Tionghoa ini menikah dengan Arya Damar dan melahirkan Raden Kusen.
Sumber : Nia S. Amira, A long journey of Admiral Cheng Ho and the acculturation of Islam and Chinese in Indonesia, 2015
Tentang penulis : Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com