Di awal abad 20 munculah seorang filsuf asli Blora, bernama Soero(se)ntiko alias Samin. Keterangan awal tentang kegiatan Soerontiko, tertulis dalam surat bertanggal 24 Januari 1906 no. 453/38 dari Residen Rembang. Ini adalah laporan pertama kali bagaimana ia kesulitan untuk menghadapi Samin dan para pengikutnya dalam pengumpulan pendapatan pajak, namun ia menambahkan: “Dia (Soerontiko Samin) tidak bisa dapat dianggap sebagai orang yang berbahaya, dan semakin tidak bisa, karena dia mengatakan kepada murid-muridnya bahwa mereka harus mematuhi kepala desa.” Karena itu dari semua informasi yang masuk ke pemerintah Belanda tentang murid-murid Samin disepakati bahwa ajaran Saminisme adalah urusan dalam hal kebaikan.
Gejolak terjadi sekitar bulan Agustus 1906. Seorang carik Medalem, sub-distrik Kradenan, Distrik Randublatung, masuk menjadi bagian dari para murid Samin. Sejak saat itu berulang kali dia melakukan tugas secara asal-asalan hingga terjadi banyak kesalahan pada laporan distrik atau kecamatan, yang menyebabkan dia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Dia kemudian menjadi lain, sebagai orang kaya, yang punya sawah sendiri, mempunyai stok padi berlimpah dan banyak kerbau, dia kemudian menguangkan semuanya dan mengadakan pesta besar dari hasil itu, membeli kursi dan meja marmer, satu celana pendek beludru dan gaun cantik serta arloji. Dia memang tidak lagi bekerja, tapi berkuasa di pasar-pasar desa, menyuplai tembakau dan opium, juga menghabiskan banyak waktu dengan para joget. Dia mengatakan kepada orang-orang bahwa dia ingin meniru Norojono, seorang tokoh pewayangan, dan kabar terakhir, pada hari Jumat Paing, di bulan Suro nanti, ia ingin membuat pasar baru di desa Medalem, dan kemudian akan mengadakan perayaan sebagai selamatan pendirian bangunan barunya, yang disebutnya Balé Kambang. Terkadang dari pesta-pesta itu, ia memotong tiga ekor sapi, tanpa membayar pajak di muka, untuk itu harus didatangkan polisi dari Blora dan dia dijatuhi hukuman denda, tetapi berapa pun denda itu, pasti dia bayar.
Sejak investigasi setahun penuh (1906) tentang ajaran Soerontiko Samin, yang tinggal di dusun Plosowetan, desa Kediren, distrik (Kecamatan) Randublatung, afdeling (Kabupaten) Blora, pemerintah daerah selalu mengawasi tindakannya dan murid-muridnya di wilayah ini. Pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan oleh Bupati Blora tidak menjelaskan apa pun dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jumlah murid Samin terus meningkat dan di awal tahun 1907 berjumlah sekitar 3000, setengah dari mereka berada di Blora dan yang lainnya di Bojonegoro, Grobogan dan Ngawi. Sampai di penghujung tahun (1906) mereka dikabarkan mulai memisahkan diri sebagai warga desa pada umumnya, bahkan, mereka tidak mau bekerja sama membuat lumbung desa, mereka tidak ingin menitipkan benih padi mereka di lumbung sesuai arahan kepala desa, dan di Bojonegoro, mereka tidak mau menaruh hewan ternaknya di kandang desa. Mereka sepertinya tidak membutuhkan itu semua. Pajak masih dibayar dengan baik, meskipun, seperti yang terlihat, di beberapa daerah telah menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap pajak sebagai kewajiban terhadap “negari”, tetapi hanya sebagai kegiatan sukarela.
Bulan Januari 1907 asisten-residen Blora mengatakan bahwa telah terjadi perubahan dalam ajaran Samin. Jika sebelumnya dilaporkan bahwa Samin menolak untuk membayar pajak, tetapi murid-muridnya tidak disuruh untuk melakukannya, karena dirasa belum cukup suci, sekarang terlihat bahwa mereka semua akan menolak membayar pajak. Para informan terpercaya pemerintah Belanda dikirim untuk menggali informasi lebih lanjut, mengkonfirmasi rumor yang beredar. Samin sendiri kemudian dikabarkan telah menyatakan tentang adanya dua agama: Igama Rasul, yang diikuti orang Belanda dan semua orang pribumi di pemerintahan Belanda (yang mungkin berarti pegawai sipil pribumi), dan Igama Adam, agama pribumi, yang waktunya akan segera datang. Semua kepala desa Igama Rasoel akan menghilang dan digantikan oleh kepala desa Igama Adam. Pada zaman Adam nanti, orang tidak dibebani pajak, dan begitulah seharusnya, semua orang akan sentosa. Samin juga memberi pepatah: Kebo brujol lebekno, kebo branggah tekno (ulukno).
Kebo brujul berarti orang Jawa, kebo branggah artinya orang Belanda; yang harus dikirim pulang kembali, diganti orang Jawa. Orang-orang mulai mendapat kepercayaan Samin untuk menyebarkan ajarannya dan menerima murid atas persetujuannya, berkata dengan semangat yang sama; zaman baru akan segera tiba, di bulan Suro (14 Februari), semua orang tidak lagi akan membayar pajak dengan uang, juga tidak lagi harus melakukan layanan desa dan bebas mendapatkan kayu dari hutan. Samin telah melakukan ini selama bertahun-tahun, dan ia telah berulang kali dihukum karena itu, tetapi dia sama sekali tidak peduli. Towikromo, kamituwo dari dusun Tengklik, desa Kediren, yang putranya menikah dengan putri Samin menyatakan bahwa, pegawai pajak, baik orang Jawa atau orang Belanda, yang ingin memungut pajak secara paksa boleh dilukai (bacok), menurut zaman baru tindakan itu tidak akan disalahkan. Dan lagi, Tokromo di dusun Tanduran, desa Kemantren, menyatakan bahwa pegawai Belanda dan pegawai pribumi adalah perampok (brandal), karena mereka memaksa orang untuk membayar pajak. Lainnya, Ronodikromo di desa Goendel, memberi tahu bahwa jika seseorang mengucapkan mantra “bumi, aji, jaman“, maka ia akan kebal, tidak akan merasa sakit jika dipukuli.
Surowirio, mantan carik desa Medalem, sekarang juga akan menyatakan dirinya sendiri sebagai Patih pada perayaan di hari Jumat (Paing) 1 Maret, dan mempersilahkan semua orang datang di rumahnya untuk menyaksikan tentang pengangkatannya dan dia ingin melihat apakah polisi akan berani menangkapnya. Ketika ditanya apa yang akan dia lakukan, dia menjawab: “kita lihat saja nanti.”
Juga di Bojonegoro, pemerintah Belanda mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Dari keterangan beberapa kepala desa ditemui tentang hal serupa, bahwa perilaku para pengikut ajaran Samin menjadi aneh, mereka sering berbincang di antara mereka sendiri dan kemudian berhenti jika ada perangkat desa yang mendekat. Tetapi kemudian diketahui bahwa mereka menanti waktu tiga tahun kedepan, ramalan Samin akan terwujut, semua orang akan tahu dan bahwa mereka akan menjadi yang selamat; murid-murid Samin kemudian akan memiliki sawah dan tegal dan rumah-rumah bagus dan pajak tidak perlu dibayar lagi. Jika nantinya ada keributan pada perayaan dan tindakan Soerowirio, mereka akan membantunya, atau mereka akan segera melakukan perayaan itu sendiri, karena semua akan semakin jelas di dalam perayaan pada hari Jumat itu. Banyak sekali yang akan menghadirinya.
Ketika semua informasi ini telah sampai ke pemerintah Belanda, Asisten-residen segera berkonsultasi dengan Bupati Blora. Kemudian diputuskan untuk menangkap tokoh utama gerakan, jika tidak maka perayaan itu bisa terus berlanjut.
Rabu 27 Februari, Samin, yang sudah terbiasa datang dalam undangan acara-acara pertemuan sebelumnya, bersedia mendatangi undangan Bupati Blora. Namun, di saat perjalanannya menuju Blora, pengikutnya yang lain, satu per satu dijemput dan ditangkap, tanpa perlawanan; ini rupanya karena mereka tidak siap.
Rabu malam semua tokoh Samin dibawa ke penjara Blora dan hari berikutnya ke penjara Rembang. Sebuah telegram tanggal 28 Februari 1907, Residen Rembang melaporkan hal ini kepada otoritas pusat di Batavia.
Pada tanggal 16 Mei 1907, Soerontiko Samin diinterogasi oleh Residen Rembang, ia memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sudahkah kamu membayar uang pajak? Lalu menjawab : ” Ketika uang pajak diberlakukan, saya membayar setengah gulden pada tahun pertama dan satu gulden pada tahun berikutnya, tetapi tidak setelah itu”. Selain itu, ia telah menyatakan bahwa ia mau untuk melakukan kewajiban-kewajiban sebagai warga desa dan berkontribusi pada pembangunan lumbung desa. Pada tahun 1904 Samin menolak mengambil upah untuk pekerjaan jalan dan dikembalikan ke pemberi upah itu, dan kemudian ia jelaskan: “Saya pikir jalan diperuntukkan bagi semua orang, yang juga harus dijaga dan diperbaiki sendiri oleh warga desa, dan ini harus dilakukan orang-orang tanpa upah”.
Surontiko Samin memiliki banyak pengikut yang tidak puas (dengan aturan baru terutama pajak) dan kurang sabar. Tentang bagaimana mereka dan tingkah laku mereka yang mengusik ketentraman dan ketertiban umum, dia bisa dianggap sebagai korban. Di kala Samin melihat bahwa dukungan kepadanya meningkat, dia membiarkan dirinya dipengaruhi, dan akhirnya melakukan tindakan yang mengarah pada pengasingannya.
Berdasarkan Keputusan Pemerintah Belanda tanggal 21 Desember 1907 No. 22, dia dan 8 orang Samin lainnya diasingkan ke Padang, Bengkulu dan Menado. Data 9 orang Samin dari Kabupaten Blora yang diasingkan, adalah:
- Soerontiko alias Samin, 48 tahun, petani, dari dusun Plosowètan desa Kedirèn ( Randublatung);
- Singotirto alias Saridjan, 37 tahun, petani, dari dusun Tanduran desa Kemantrèn (Panolan);
- Kartogolo alias Sakidin, 50 tahun, petani, dari dusun Kejiwan desa Klagen (Panolan);
- Ronodikromo alias Randi, 32 tahun, petani, dari Desa Gondèl (Panolan);
- Soredjo alias Sakidin, 38 tahun, petani, dari dusun Ngrawut desa Plosorejo (Randublatung);
- Soeryani alias Sarpan, 45 tahun, petani, dari dusun Nglumpang desa Gembiyungan ( Randublatung);
- Soerowirio alias Saroe, 32 tahun, petani (mantan carik) dari Medalem (Randublatung);
- Tokromo alias Sagiman, 55 tahun, petani (besan Samin), dari dusun Tanduran desa Kemantrèn (Panolan);
- Towikromo alias Sakidin, 40 tahun, petani, kamituwa dari dusun Tengklik desa Kedirèn (Randublatung).
Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati budayadan sejarah
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com