BLORANEWS – Pada kuartal kedua abad 19, Residen Rembang secara administratif mencakup 4 Kabupaten, yaitu Rembang, Tuban, Bojonegoro dan Blora. Culturstelsel, atau sistem kultivasi atau Sistem Tanam Paksa yang dicetuskan Van den Bosh di tahun 1830 mau tidak mau juga diterapkan disini. Padi, tembakau, tebu, kopi, kayu manis, jagung, jarak, kapas, palawija juga murbei.
Namun ternyata, dari seluruh wilayah bagian Residen Rembang, hanya Kabupaten Blora yang telah berhasil menanam dan juga memanen biji kopi.
Produksi kopi Blora tahun 1843 tercatat sebesar 2546 pikul. Jika 1 pikul setara dengan 62,5 kg, maka di tahun itu Blora telah mampu memanen kopi sebesar kisaran 159 ton/tahun. Jumlah yang tentu tidak sedikit.
Sepertinya menjadi masuk akal jika ini yang menjadi alasan mengapa harus didirikan sebuah Gudang Kopi milik Negara di Blora. Karena dari laporan Residen Rembang tahun 1845 didapati keterangan bahwa di Blora, terdapat bangunan-bangunan milik Hindia Belanda, terdiri dari : 1. Rumah Bupati, 2. Rumah Kontroleur, 3. Penjara, 4. Gudang Kopi.
Sekarang, di Blora, jika kayu Jati yang telah lama dimonopoli masih terdengar tentang Blandong-nya, dan Tembakau yang pernah sukses diekspor masih terbaca tentang Naya Gimbal-nya, lalu apakah ini semua tentang jejak terpendam Kopi, yang menjadikan orang Blora lebih mampu menikmati “kothok” butiran biji Kopi.
Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati sejarah dan budaya yang kini berkecimpung di Dewan Kebudayaan Blora (DKB).
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com