Blora – Satu Abad sudah perjuangan Mbah Samin Surosentiko. Tepatnya 115 tahun sejak penangkapan oleh kolonial dan antek-anteknya. Yaitu pada bulan Maret tahun 1907 di Plosokediren, Randublatung, Blora. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Laku Sikep Mbah Samin. Salah satunya Ojo Njajah, Moh Dijajah.
Salah Satu Sedulur Sikep, Gunretno, menerangkan, Samin Surosentiko adalah nama ubahan dari Raden Kohar yang merupakan keturunan ningrat. Dia adalah keturunan dari Bupati Sumoroto (Raden Mas Adipati Brotodiningrat) yang berkuasa 1802-1826.
Perjuangannya berbentuk perlawanan kebudayaan berbentuk “laku sikep” yang sangat disegani Belanda. Samin Surosentiko mengajak sedulur-sedulur tani yang lain untuk berani tidak membayar pajak kepada Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan.
Falsafah yang dianut Samin Surosentiko adalah Ojo njajah, Moh dijajah. Laku ini diterapkan dengan melawan tanpa kekerasan. Tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan guna membangun peradaban dunia yang berkeadilan.
Akibat dari perlawanannya tersebut, Raden Mas Adipati Brotodiningrat kemudian dibuang ke Sawahlunto bersama beberapa pengikutnya. Sebab dianggap berbahaya oleh Belanda. Selang 40 hari setelah diangkat menjadi Raja Jawa oleh pengikutnya.
Sudah banyak studi akademik dan penelusuran sejarah oleh berbagai akademisi-intelektual. Baik dalam dan luar negeri tentang perjuangan Samin Surasentiko. Benang merah dari beragam studi itu, setidaknya menunjukkan bahwa Gerakan Samin memiliki ciri-ciri seperti pergolakan sosial di pedesaan lainnya. Yakni bersifat tradisional. Dilakukan oleh kaum petani dan daerah gerakannya tidak luas.
“Akan tetapi, gerakan ini juga memiliki keunikan yang membedakannya dengan gerakan-gerakan petani lainnya. Gerakan Samin dilakukan tanpa kekerasan. Seperti aksi tidak membayar pajak dan menolak untuk patuh terhadap peraturan pemerintah colonial dan sebagainya,” jelasnya, Senin (14/3).
Gunretno menambahkan, para pelakunya pun dikenal rajin, jujur, serta menghargai sesama. Termasuk kepada kaum perempuan dan alam semesta di sekitarnya.
“Hal inilah yang kala itu mendasari Pemerintah Belanda untuk menganggap bahwa Gerakan Samin tidaklah berbahaya dan dapat dengan cepat ditumpas apabila pemimpin atau penganjurnya dibuang,” tambahnya.
Namun, rupanya tidak demikian dengan Gerakan Samin. Selain itu, tidak seperti gerakan sosial untuk melawan kolonial Belanda lainnya. Yang umumnya berumur singkat, Gerakan Samin yang dimulai pada akhir abad ke-19 ternyata bertahan cukup lama.
Kini, perjuangan Samin Surosentiko menjadi legenda dan inspirasi bagi perjuangan rakyat. Terhadap segala bentuk “penjajahan” (baru) yang menimpa rakyat kecil. Khususnya kaum petani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya di seluruh Indonesia.
“Tepat di bulan Maret ini, 100 tahun telah berlalu perjuangan Samin Surosentiko. Berlandaskan pada perjuangan Samin Surosentiko hingga dibuang ke Sawahlunto, Kami Paguyuban Kadang Sikep, mengadakan rangkain acara “Peringatan Satu Abad Perjuangan Samin Surosentiko: Panglingo Wonge Ojo Pangling Swarane, Laku Sikep Kanggo Ndonya”. Yaitu di Pendopo Pengayoman Mbah Samin Surosentiko Desa Plosokediren, Kecamatan Randublatung, Blora,” tegasnya. (sub).