fbpx

KEKUATAN MEDSOS TAK SELALU BERBANDING LURUS DENGAN KEMENANGAN PEMILU

Gambar Ilustrasi.

Fenomena kontestan pemilu yang populer di media sosial tetapi kalah dalam pemungutan suara menjadi perhatian. Meski tampak mendominasi percakapan online, penguasaan di media sosial tidak selalu diterjemahkan menjadi kemenangan di tempat pemungutan suara. Beberapa faktor kunci dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi.

 1. Jangkauan Media Sosial yang Tidak Merata.

Meskipun media sosial menawarkan akses cepat dan luas, tidak semua segmen pemilih aktif di platform tersebut, terutama di wilayah pedesaan atau komunitas yang memiliki akses terbatas terhadap teknologi. Kandidat yang terkenal di media sosial sering kali memiliki pengikut di kalangan perkotaan, generasi muda, atau masyarakat yang melek teknologi. Namun, pemilih yang lebih tua atau di daerah terpencil cenderung masih mengandalkan media tradisional atau interaksi langsung dalam memilih calon pemimpin mereka.

DI Kenya pada pemilu 2017, kandidat pemilihan presiden Raila Odinga sangat populer di media sosial dan memenangkan narasi online. Namun, incumbent Uhuru Kenyatta menang telak di dunia nyata, karena basis pemilih tradisional yang lebih besar dan kuat di luar media sosial.

 2. Fenomena “Echo Chamber”.

Media sosial sering kali menciptakan “echo chamber,” di mana para pengguna cenderung hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa. Algoritma media sosial memperkuat ini dengan menampilkan konten yang selaras dengan preferensi pengguna, sehingga para kontestan mungkin tampak sangat populer di lingkaran mereka sendiri. Namun, popularitas ini bisa bersifat semu karena hanya terbatas pada audiens yang sudah mendukung mereka. Saat hari pemungutan suara tiba, suara dari audiens yang lebih luas dan beragam bisa jauh berbeda dari narasi yang berkembang di media sosial.

Pada pemilu 2016 di Amerika serikat, Bernie Sanders adalah salah satu kandidat yang mendominasi percakapan di media sosial dengan dukungan luas dari kaum muda. Meskipun begitu, Hillary Clinton memenangkan nominasi Partai Demokrat karena dukungan dari pemilih yang lebih tua dan basis yang lebih tradisional.

3. Kesenjangan Antara Kampanye Digital dan Aksi Nyata.

Popularitas di media sosial sering kali diukur berdasarkan metrik seperti jumlah pengikut, like, dan share. Namun, ini tidak selalu mencerminkan keberhasilan dalam meraih dukungan nyata di lapangan. Pemilu tidak hanya soal popularitas digital, tetapi juga tentang mesin politik yang kuat, jaringan relawan, strategi door-to-door, dan kemampuan memobilisasi pemilih untuk benar-benar datang ke TPS. Kandidat yang mengandalkan popularitas media sosial mungkin kurang dalam hal jaringan politik akar rumput, yang sangat penting untuk memenangkan pemilu.

Pemilu presiden Indonesia tahun 2014 dan 2019 Jokowi berhasil meraih kemenangan besar, meskipun media sosial sering kali diramaikan oleh suara para lawannya. Jokowi memiliki jaringan relawan yang kuat di lapangan, yang secara aktif bekerja mendekati pemilih di tingkat lokal, sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan pengaruh digital.

4. Kualitas Interaksi di Media Sosial.

Interaksi di media sosial bisa superfisial. Meski kontestan tertentu mungkin memiliki jumlah pengikut yang besar, ini tidak selalu mencerminkan tingkat dukungan yang mendalam. Banyak pengikut mungkin sekadar mengikuti tren atau karena konten viral, tetapi belum tentu berkomitmen untuk memilih. Selain itu, kampanye di media sosial kadang hanya berupa pesan-pesan pendek yang tidak menyampaikan program atau visi secara mendetail, sehingga tidak berhasil memenangkan hati pemilih yang menginginkan penjelasan lebih rinci.

Di Malaysia, dalam pemilu 2018, Najib Razak dan partainya menguasai narasi media sosial melalui strategi kampanye digital yang kuat. Namun, koalisi oposisi Pakatan Harapan, meskipun tidak begitu dominan di media sosial, berhasil memenangkan pemilu melalui isu-isu konkret yang dibawa ke lapangan seperti skandal korupsi 1MDB yang melibatkan Najib.

5. Popularitas di Medsos Bukan Jaminan Kepercayaan Publik.

Keberadaan kandidat di media sosial bisa menunjukkan popularitas mereka, tetapi belum tentu menunjukkan kepercayaan atau persepsi yang baik dari publik. Kandidat yang terkenal di media sosial dapat dianggap kontroversial atau tidak dapat dipercaya oleh sebagian pemilih, terutama di kalangan yang tidak terhubung dengan dunia digital. Kepercayaan publik dibangun melalui berbagai aspek lain seperti rekam jejak, kompetensi, dan pengalaman, yang sering kali kurang terekspos di media sosial.

Pemilu tahun 2019, Rahul Gandhi dari Kongres Nasional India sangat aktif di media sosial, namun kalah telak dari Narendra Modi yang dianggap lebih punya kredibilitas di mata pemilih dan memiliki strategi kampanye di akar rumput yang lebih kuat.

Kombinasi Digital dan Taktik Lapangan adalah kunci, Calon yang ingin berhasil tidak bisa hanya mengandalkan kampanye media sosial. Mutlak harus ada sinergi antara kampanye digital dan mobilisasi di lapangan untuk memastikan basis pemilih yang kuat di TPS.

Pemahaman tentang demografi pemilih penting untuk menyesuaikan strategi. Meskipun kampanye media sosial efektif untuk kaum muda, pemilih yang lebih tua atau yang berada di pedesaan harus didekati dengan cara yang berbeda.

Kepercayaan publik dibangun melalui rekam jejak, keterlibatan yang nyata, dan komunikasi yang autentik. Media sosial bisa menjadi alat untuk menyampaikan ini, tetapi perlu didukung dengan aksi nyata.

Kandidat harus fokus pada isu-isu konkret yang menjadi perhatian utama pemilih dan mampu menyampaikannya dengan jelas baik di media sosial maupun dalam interaksi langsung.

Meskipun media sosial adalah alat yang ampuh untuk kampanye, ia hanya salah satu bagian dari strategi yang lebih besar untuk memenangkan hati dan suara pemilih.

Pemilu tetap dimenangkan di lapangan, dengan keterlibatan nyata di komunitas dan pengorganisasian yang solid.

Kandidat yang tampaknya sedikit melakukan kegiatan di lapangan namun tetap populer di media sosial biasanya mendapatkan dorongan dari beberapa faktor, salah satunya adalah penggunaan strategi digital yang efektif, termasuk kemungkinan adanya peran buzzer atau influencer digital. 

Mengapa ini bisa terjadi, Kandidat mungkin sedikit melakukan kegiatan di lapangan tetapi memiliki tim media sosial yang sangat terorganisir.

Tim bertugas memposting secara rutin, membuat konten yang menarik, dan menjaga narasi tetap positif di platform media sosial. Dengan konten yang terencana dan konsisten, seorang kandidat bisa tetap terlihat aktif dan relevan di mata publik meskipun jarang melakukan kegiatan tatap muka.

Algoritma Media Sosial dan Efek Viral, Media sosial beroperasi dengan algoritma yang mengutamakan konten yang banyak mendapatkan interaksi, seperti likes, shares, dan komentar.

Jika sebuah postingan kandidat menjadi viral atau banyak dibicarakan, ini akan meningkatkan eksposur tanpa memerlukan banyak aktivitas nyata di lapangan. Konten yang viral membuat kandidat tampak lebih populer dari yang sebenarnya, karena algoritma platform terus menampilkan konten tersebut kepada lebih banyak orang.

Buzzer adalah individu atau tim yang dibayar atau bekerja untuk menyebarkan informasi tertentu di media sosial. Mereka berperan penting dalam menciptakan atau memperkuat narasi positif tentang kandidat dengan cara Buzzer dapat meningkatkan eksposur postingan kandidat dengan cara menyebarkan konten ke lebih banyak orang. Mereka bisa memberikan komentar positif, me-retweet, atau memposting ulang untuk memperluas jangkauan.

Selain menyebarkan hal positif, buzzer juga bisa berperan dalam membendung kritik atau mengalihkan perhatian publik dari isu-isu negatif. Mereka bisa mengisi ruang komentar dengan dukungan terhadap kandidat, sehingga membuat narasi negatif lebih sulit berkembang.

Membuat tren buatan, Buzzer dapat membuat tagar atau isu tertentu menjadi tren di media sosial, sehingga seolah-olah kandidat sedang ramai diperbincangkan atau didukung oleh banyak orang. Padahal, tren ini bisa saja hasil dari koordinasi yang disengaja.

Selain buzzer, kandidat juga bisa memanfaatkan influencer atau tokoh media sosial yang memiliki pengikut besar untuk mempromosikan mereka. Dengan dukungan influencer, seorang kandidat bisa mendapatkan eksposur yang luas dengan cara yang lebih halus dan terlihat alami. Influencer sering kali lebih dipercaya oleh pengikutnya daripada buzzer anonim.

Dengan penggunaan buzzer dan konten yang dibuat sedemikian rupa, persepsi publik bisa dimanipulasi agar kandidat terlihat lebih populer atau aktif daripada kenyataannya. Ini sering kali dilakukan dengan memanfaatkan tagar yang dibuat khusus untuk menaikkan visibilitas isu tertentu.

Penggunaan bot untuk mengomentari, menyukai, atau me-retweet bisa meningkatkan kesan bahwa banyak orang mendukung kandidat.

Pengulangan konten positif secara konsisten menciptakan persepsi bahwa kandidat selalu berbuat sesuatu yang berarti.

Popularitas seorang kandidat di media sosial sering kali tidak mencerminkan apa yang terjadi di dunia nyata. Seorang kandidat bisa tampak sangat populer di platform seperti Twitter, Instagram, atau TikTok, namun tidak memiliki basis massa yang kuat di lapangan. Fenomena ini sering dikenal sebagai “bubble” media sosial, di mana narasi yang didukung oleh buzzer, bot, atau influencer bisa menipu publik tentang tingkat dukungan yang sebenarnya.

Beberapa studi menunjukkan bahwa buzzer dapat memainkan peran besar dalam mengubah persepsi publik, terutama di kalangan pemilih muda yang lebih aktif di media sosial. Namun, peran mereka sering kali berakhir hanya di dunia maya, tanpa ada tindak lanjut nyata dalam menggerakkan massa di hari pemungutan suara.

Media sosial harus digunakan sebagai alat untuk komunikasi yang jujur dan terbuka dengan pemilih, bukan sebagai alat manipulasi atau propaganda kosong.

Dengan strategi yang seimbang antara aktivitas online dan lapangan, seorang kandidat bisa memanfaatkan media sosial dengan lebih efektif tanpa terjebak dalam ilusi popularitas digital.

Meski platform media sosial itu gratis, namun biaya untuk membuat konten berkualitas, kampanye iklan, dan membangun tim media sosial yang solid bisa sangat tinggi.

Kandidat perlu menginvestasikan dana untuk menyewa profesional seperti content creator, fotografer, videografer, copywriter, serta manajer media sosial yang paham strategi digital.

Selain itu, biaya untuk promosi berbayar (ads) di platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok dapat membengkak, terutama jika ingin menjangkau audiens yang lebih luas dan spesifik. Semua ini membuat pengelolaan media sosial menjadi investasi besar yang tidak bisa dipandang enteng.

Tulisan diatas bersumber dari pengalaman pribadi dan dari sejumlah artikel.

Tentang Penulis : Khafif Ferdiansyah, pemerhati sekaligus praktisi sosial Media.

*Opini diatas diluar tanggung jawab redaksi Bloranews.com

Verified by MonsterInsights