fbpx
OPINI  

JADI REBUTAN, BEGINI ASAL MUASAL GELAR BUPATI

Bupati dan Asisten-residen Blora 1905.
Bupati dan Asisten-residen Blora 1905.

Dinamika kepemimpinan wilayah-wilayah Jawa selalu menarik untuk diperbincangkan, terlebih semenjak abad 19, berbarengan dengan kebijakan desentralisasi kekuasaan Kerajaan Jawa oleh penguasa-penguasa lokal kedaerahan.

Salah satu perubahan yang tidak bisa dikesampingkan adalah bagaimana sebuah pangkat dan gelar kebangsawanan disematkan di Jawa. Khususnya, tentang gelar pemerintahan, atau setidaknya ‘jabatan plat merah’ wilayah Jawa (kecuali wilayah Kotapraja Kerajaan), di masa Kolonial Hindia Belanda. 

 

Bupati dan Asisten-residen Blora 1905.
Bupati dan Asisten-Residen Blora 1905.

 

Perlu diketahui ketika Marsekal Daendels menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda, terdapat perombakan besar dalam sistem pemerintahan Jawa. Hal ini sebagai hasil yang tak terduga dari adanya kemelut antara dua kerajaan Jawa (Kasunanan dan Kasultanan). Perseteruan itu mengerucut menjadi sebuah pemberontakan kepada pihak Kolonial yang dikomandoi Raden Ronggo (Madiun). Perang memang tidak berlangsung lama, namun harus dibayar mahal dengan semakin meluasnya daerah-daerah jajahan Kolonial Hindia Belanda.

Pada tanggal 6 Januari 1811, Daendels yang keras dan tegas berhasil membuat kesepakatan dengan pihak Kerajaan Surakarta. Kesepakatan itu menyebut bahwa wilayah Blora yang merupakan bagian Mancanegara Kasunanan, harus diserahkan kepada Gupernemen. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan oleh Kolonial saat itu, karena bukan hanya di Surakarta, tetapi juga terjadi di Jogkakarta. Daendels, dengan piawai menggunakan kesempatan yang dimiliki untuk membuat kesepakatan dengan Sultan. Salah satu butir perjanjian tanggal 10 Januari 1811, menyebut bahwa Panolan, yang saat itu merupakan pusat kota Jipang, wilayah Sesela (termasuk di dalamnya Randublatung, Jati) dan Warung (termasuk di dalamnya Todanan), harus diserahkan kepada Hindia Belanda. Selanjutnya, dengan alasan efisiensi pengawasan atas wilayah “baru”-nya, Blora dan Panolan dijadikan satu dibawah kendali Residen Rembang. 

Blora, dengan Bupati, Patih, dan segenap pangreh-praja tak lagi dibawah kendali Kerajaan, tetapi harus tunduk taat kepada Gupernemen. 

Maka, sejak saat itu, secara teori, para bangsawan Kabupaten Blora menjadi pegawai Gupernemen Belanda yang diangkat oleh Gupernemen.

Pangkat dan gelar yang semula hanya disematkan oleh pihak Kerajaan, mulai berubah menjadi pangkat jabatan oleh otoritas yang berwenang, yang dalam kasus Blora, dilakukan oleh Gupernemen Semarang. Demikian juga dengan gelar pada anak-anak keturunannya, gelar bangsawan akan disematkan jika terjadi suatu pengecualian, atau, hanya ada secara tidak langsung.

Gelar tersebut, dari tertinggi ke yang rendah adalah : Bupati, Patih, Djaksa, Wadana, Dëmang, Mantri, dst. Mudahnya, gelar ini disandang sebagai “gelar jabatan” atau pangkat pekerjaan. 

Kata Bupati sendiri, berasal dari bahasa Sansekerta: Bhoepati. Terdiri dari Bhu : ‘bumi’, ‘tanah’, dan Pati : ‘tuan’, sehingga dapat berarti ‘tuan tanah’. Kabupaten merupakan turunan dari kata Bupati, yaitu berarti ‘rumah Bupati’.

Sementara Patih, adalah padanan makna dari kata Sanskerta: Pati, yang berarti: ‘tuan’. Jaksa berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksha, yang berarti : ‘pengawas’, atau bisa juga ‘inspektur’. Jaksa disebut juga dengan kata Jeksa. Wedana, dari bahasa Sansekerta, Wadana, berarti ‘wajah’, ‘atas atau ujung segitiga’. Lidah Jawa menyebut dengan kata Wedono. Untuk kata Demang sendiri, tidak diketahui dalam kamus Sanskerta. Namun menurut pendapat Jawa, kata tersebut pada awalnya berarti ‘pegangan’ atau ‘ikatan’. Mantri adalah sama makna dari kata Sanskerta Matrin: yang berarti ‘menteri’.

Gelar diatas merupakan pangkat jabatan pegawai kebangsaan Jawa, disamping itu ada juga jabatan kebangsaan Eropa yang mendampingi pemerintahan sebuah Kabupaten (Afdeeling). 

Jabatan Bupati setara dengan Asisten-Residen, sementara Wedana setara dengan Controleur Belanda. Dualisme kepemimpinan ini berjalan beriringan, mengawasi satu sama lain. Sebuah wilayah Kabupaten akan sama dengan sebuah wilayah Afdeeling, hanya terpisah istilah. Namun seorang Bupati tidak wajib membuat pertanggung jawaban dengan Asisten Residen, Bupati hanya tunduk kepada seorang Residen, yang berdasar keputusan diatas, berdomisili di Rembang. 

 

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com