Keadaan Islam yang dimaksud disini adalah “periode Soekarno”, satu dasawarsa setelah Pemilu yang pertama, bersamaan dengan memanasnya tensi politik Islam di Indonesia. Sementara Orde Baru telah membungkam kuat tokoh besar di negeri ini dengan politik de-Sukarnoisasi selama periode yang cukup panjang, kita yang menyadari tentang sejarah Islam di awal Indonesia, haruslah bisa menjawab pertanyaan: peran apa yang dimainkan Soekarno dalam sejarah ini?
Seberapa jauh dia yang menentukan masa depan Indonesia baru sebagai negara multi-agama, berdasarkan Pancasila, dengan kebijakan positif kebebasan beragama dan promosi agama?
Ataukah Soekarno hanya perwujudan perasaan religius sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya di Jawa? Apakah dia tidak menyuarakan perasaan banyak orang lain, yang tidak mampu, atau tidak memiliki keberanian, untuk mengungkapkan segala macam pendapat yang mungkin cara “sesat”, dengan cara yang jujur atau berani seperti yang biasa dilakukan Soekarno?
Sejauh mana “Islam Soekarno” dianggap juga sebagai manifestasi Islam, yaitu bentuk abangan-Islam, dalam hal ini Islam dari intelektual artistik yang mistik, artistik, namun juga abangan khas Jawa? Beberapa teolog Islam mengatakan bahwa Soekarno adalah berfaham sinkretis Jawa yang khas, dan bahwa “sinkretisme adalah musuh agama”.
Namun, semua sepakat bahwa Soekarno memiliki sifat keagamaan yang mendalam. Sejauh Soekarno adalah perwakilan dari semacam agama Indonesia atau Jawa, tentu berguna untuk mencoba memahami lebih banyak tentang pendapatnya.
Bukan urusan kita untuk menilai keyakinan pribadi Soekarno. Adalah aturan Muslim yang baik untuk tidak menghakimi niat batin seseorang: Wa’llahu Alam, Tuhan yang tahu yang terbaik! Tetapi kita harus mendengarkan Soekarno untuk bisa memahami penafsiran Jawa tentang Islam, dan juga sikapnya terhadap Muslim yang lebih ortodoks dan tradisional.
Bagi seorang yang sezaman Soekarno yang mendengar dan melihatnya berbicara, mudah dipahami bahkan dalam hidupnya semua jenis pandangan terhadap fenomena Soekarno telah menjadi aktual.
Lalu akan terkesan bahwa Soekarno sendiri menikmati, dengan egoisme tertentu, memerankan tokoh yang sulit dipahami, misalnya ketika dia berkata tentang dirinya sendiri, “Ada yang mengatakan: Soekarno adalah seorang Nasionalis; yang lain mengatakan: dia bukan lagi seorang Nasionalis, dia adalah seorang Muslim sekarang. Dan ada orang lain yang mengatakan: dia bukan seorang Nasionalis atau seorang Muslim, tetapi seorang Marxis. Bahkan ada beberapa yang mengatakan: dia bukan seorang Nasionalis, atau seorang Muslim, atau seorang Marxis, dia seorang pria pendapatnya sendiri … Apakah itu Soekarno? Apakah dia seorang Nasionalis, Muslim, Marxis? Soekarno adalah campuran dari semua ‘isme’ ini.