Islam adalah agama kaya akan tradisi peringatan. Apalagi, Islam di Nusantara seakan tiada bulan tanpa tradisi peringatan. Lebih-lebih bila datang bulan muharam seperti ini, serentak tanpa komando, umat Islam seluruh Nusantara menyambut bulan tersebut dengan aneka kegiatan yang berbau relegius.
Salah satunya adalah peringatan setahun terhadap orang yang telah lebih dahulu meninggalkan kita semua.
Peringatan ini, biasanya lebih awam dikenal oleh masyarakat dengan sebutan haul. Bila dilihat dari mata sejarah, sebenarnya tak bisa dilepaskan begitu saja dari warisan nenek moyong bangsa ini, tradisi hindu dan budha. Kenapa bisa begitu?
Sebagaimana kita ketahui, cara Walisongo menyebarkan Islam, yaitu tanpa membuang tradisi lama pribumi yang terkenal akan upacara atau peringatan. Baik itu peringatan terhadap orang sudah meninggal maupun lainnya.
Lebih-lebih terhadap orang yang sudah meninggal, misal peringgatan dengan istilah mitoni, yaitu peringatan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang meninggal setelah tujuh hari dari kematian dan banyak lainnya.
Padahal, kita tau di dalam Islam tidak terdapat anjuran untuk melakunan ritual seperti halnya mitoni (tujuh hari), matang puluhi (empat puluh hari), nyeratusi (seratus hari), nyewuni (seribu hari) atau yang lebih marak dalam bulan ini, yakni ngekholi (satu tahun), yang selama ini dijalankan umat Islam di Nusantara.
Mungkin dari sinilah istilah itu mulai dipertanyakan apakah itu berasal dari ajaran Islam atau hanya budaya warisan nenek moyang?
Kalau kita melihat pernyataan sejarah di atas, membuktikan bahwa istilah itu muncul dari kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang. Pada akhirnya menjadi tradisi yang dilestarikan.
Akan tetapi, pertanyaanya apakah Walisongo tidak mengatahui kalau didalam ajaran Islam tidak terdapat anjuran jelas terkait ritual tersebut? Mungkin bisa ia ataupun tidak, untuk itu mari kita menengok sebuah kebiasan yang dilakukan oleh umat Islam Nusantara, lebih-lebih yang berada di Jawa mereka sering kali berduyun-duyun datang kesebuah makam.
Biasanya makam yang didatangi adalah makam para wali, kiai, atau tokoh karismatik maksud dan tujuan kedatanganya pun bervariasi ada yang betul-betul tulus untuk sekedar ziarah hingga sampai pada tujuan menyekutukan Allah. Semua itu berjalan sudah bertahun-tahun hingga menjadi sebuah keharusan, kalau gak seperti itu rasanya hidup di Jawa ini tak lengkap.
Dengan melihat fenomena tersebut dalam beberapa versi sejarah penyebaran Islam di Jawa oleh Walisongo yang pernah dibaca, penulis memiliki anggapan mereka memaknai dan menjadikan fenomena di atas, sebagai subuah kebiasaan yang seharusnya dilestarikan dengan bingkai tanpa ada penyekutuan terhadap Allah.
Yaitu, melalui memberikan bacaan tahlil, yasin dan lainnya dalam ritual tersebut. Di satu sisi, kebiasan tersebut sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat. Sebagai bukti, masih teringat jelas dalam ingatan penulis saat menjelang lengsernya orde baru, bangsa ini dilanda dengan berbagai gejolok kemasyarakatan akibat krisis di bidang perekonomian yang memberentikan pasar modal.
Mungkin bagi masyarakat desa krisis tersebut tak begitu dihiraukan bahkan sampai dipikirkan, terbukti mereka tetap saja melangsungkan peringatan mitoni, matang pulohi, nyatusi, nyewuni hingga pada peringatan ngekholi.
Padahal, kita tau didalam peringatan tersebut tak luput dari memberikan makanan, minuman, maupun berkat (bingkisan makanan, red), meskipun itu tidak dianjurkan namun pada giliranya pemberian dimaknai sebagai sedekah.
Kondisi inilah yang terjadi meski krisis berlangsung sampai setelah lengser orde baru, mereka tetap saja menjalankan ritual tersebut tanpa meninggalkan kebiasaan memberikan makanan, minuman dan berkat seperti jauh sebelum krisis terjadi.
Lalu, apakah masih perlu membahas peringatan tersebut sebagai anjuran Islam atau kebiasaan warisan nenek moyang, apalagi menanyakan apakah Walisongo tidak mengetahui bahwa peringatan tersebut tak terdapat anjurun yang jelas dalam ajaran Islam?
Mungkin menurut hemat penulis catatan di atas, sudah mewakili untuk menjawab pertanyaan yang telah terlontar, untuk saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana mungkin Islam Nusantara dikatakan kaya akan tradisi peringatan, bagaimana tidak?
Sebab umat Islam selalu punya agenda peringatan mulai dari peringatan kelahiran Nabi hingga peringatan kematian para wali, kiai ataupun tokoh karismatik lainnya.