BLORANEWS – Sejak akhir 2022 pemerintah sudah memberikan wacana tentang kenaikan cukai tembakau. Pemerintah sengaja menaikkan tarif cukai hasil pengolahan tembakau lainnya sebesar 6 % di mulai 2023-2027 dengan alasan untuk meminimalisir tingkat konsumsi serta produksi di masyarakat.
Dengan kenaikan cukai HPTL ini, membuat harga rokok di awal tahun mengalami kenaikan 10 % tanpa pengecualian. Coba kita lihat bersama sample harga rokok putihan, filter, mild dan kretek.
Berikut hasil survey sederhana di lapangan. Marlboro putihan yang semula 35.000 menjadi 37.000. Begitu juga Gudang Garam 20.00 menjadi 22.000. Sampoerna mild 27.000 menjadi 29.000. Sampoerna kretek 14000 menjadi 16.000. Kesemuanya masing-masing mengalami kenaikan harga per bungkus 2000 rupiah.
Berdasarkan pantauan di lapangan, rokok merupakan kebutuhan mendasar kedua setelah beras. Rokok menjadi barang yang tidak bisa digantikan dengan yang lain meskipun ada banyak alat yang sengaja dibuat untuk menggantikan rokok.
Namun hisapan rokok yang sebenarnya tidak bisa dengan mudah tergantikan hanya dengan sebuah alat (Vape), karena Vape sendiri tidak mengandung rasa tembakau, tar, serta rasa khas rokok pada umumnya.
Dari sinilah, keberadaan rokok tidak mungkin bisa diganti dengan yang lain kecuali penikmat rokok, membuat rokok sendiri dengan cara meracik tembakau dan bahan lainnya sehingga rokok bisa siap untuk dinikmati. Naiknya harga rokok saat ini membuat para pecinta rokok terpaksa merogoh kocek agak dalam. Apalagi kalau kita sebagai pecandu rokok berat, kita akan lebih memprioritaskan rokok dibanding kebutuhan rumah tangga lainnya.
Untuk menekan pengeluaran anggaran belanja rumah tangga, sebagian masyarakat Indonesia akan memilih untuk meracik rokok sendiri dengan cara tehnik lintingan. Rokok lintingan cukup memberikan pilihan alternatif meskipun tidak bisa menggeser konsumsi rokok konvensional. Maka dari itu produksi rokok konvensional tetap saja dilakukan oleh pabrik besar di tanah air.
Kita sebagai warga negara Indonesia tidak bisa berbuat banyak dengan adanya kenaikan cukai rokok. Karena pilihannya gampang, rokok bukan sesuatu yang masuk dalam kebutuhan pokok, maka tidak akan berdampak signifikan apabila ada kenaikan harga rokok.
Dengan pemerintah menaikkan cukai rokok, berdampak pada keuntungan besar bagi pendapatan negara. Dari situ sudah jelas berapa rupiah yang bisa terserap di APBN dari cukai rokok. Belum lagi untuk rokok yang sengaja di ekspor ke luar negri. Sungguh hitungan yang terlampau fantastis bagi petani tembakau apabila mereka para petani bisa merasakan dampak dari kenaikan cukai. Sayangnya, kenaikan cukai tidak untuk dihitung oleh para petani tembakau. Urusan mereka hanya sekedar menanam tembakau dan hasil panennya dijual ke perusahaan besar di Indonesia beserta vendornya.
Mengenai nasib petani tembakau pasca kenaikan cukai, rasanya tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Stagnan, itulah kata yang pas disematkan bagi petani tembakau yang sejak jaman dulu hingga sekarang belum pernah berubah. Sekalipun berubah, dia harus pandai dalam menjual ke penjual rokok ilegal. Idealnya pemerintah Indonesia yang sebagian besar penduduknya sebagai masyarakat agraris bisa memberikan solusi bagaimana supaya petani tembakau juga bisa hidup layak seperti petani lainnya. Mereka bisa menikmati hasil pasar ketika harga pasar naik.
Harga rokok yang melambung tinggi dan rasanya tidak ada kemungkinan untuk turun kembali, maka tidak ada salahnya jika petani tembakau menjual tembakau di pasar beserta ubo-rampenya sekalian untuk menyelamatkan kantong para pecandu rokok. Dengan teknik linting sendiri tanpa ada pasal yang menghalangi mereka untuk bebas merokok, kiranya ini merupakan solusi yang paling solutif. Di samping ekonomis, alokasi uang rokok bisa dipakai untuk yang lain.
Tentang penulis: Siti Lestari adalah mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com.