Blora, BLORANEWS – Blora telah berhasil dalam penanaman Tembakau dan jenis Curcuma atau polo kependem untuk kemudian menjadi barang ekspor. Tahun 1845 Blora telah memiliki Gudang Kopi dan juga satu-satunya gudang kopi milik pemerintah Belanda yang ada di Residen Rembang.
Pemantik bedah sejarah kopi Blora, Totok Supriyanto menyebutkan ketinggian Blora tidak mencapai 400 meter DPL namun pada 200 tahun yang lalu mampu ditanam kopi dan menghasilkan ratusan ton kopi per tahunnya.
“Menemukan literatur kopi Blora, kembali 200 tahun yang lalu Blora tak hanya sebagai konsumen tapi sebagai produsen kopi. Bertolakbelakang dengan kondisi cuaca ataupun kondisi ketinggian tanah. Sudah bisa berproduksi sendiri,” terangnya.
Diskusi bedah sejarah kopi Blora, Sabtu (17/9) malam di depan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Blora tersebut dirasa perlu dilakukan. Selain hutan jatinya, Blora ternyata memiliki budaya atau folklore unik tentang cara menikmati minuman, sebagai penyegar dan pengisi waktu luang, di sudut kota, sampai di warung-warung tiap dukuhan penjuru Blora, yaitu ngopi Kothok.
Proses penyajian khas tanpa sendok untuk menyeduh seakan menjadi ciri khas Blora dibanding dengan kabupaten-kabupaten tetangga. Tetapi belum diketahui pasti kapan dan bagaimana kopi kothok begitu terkenal. Popular di seluruh kalangan warga Blora.
“Warung kopi adalah tempat yang paling ramah. Tidak hanya penjualnya yang ramah namun juga ramah harganya. Intinnya saya mencoba Tarik benang merah antara kebiasaan ngopi wong Blora dengan Blora sebagai produsen kopi,” pungkas Totok Supriyanto.
Dalam kamus Jawa Kuno, lanjut Totok, istilah ‘Kothok’ berarti merebus sesuatu sampai mengental. Kopi kothok berarti kopi yang telah dijadikan bubuk itu direbus bersama gula, diaduk sehingga menyatu seperti sup yang bisa disajikan.
“Istilah kopi kothok juga agak rancu, soalnya kothok itu proses bukan jenis kopi. Tapi proses penyajian kopi untuk bisa diminum dengan cara dikothok. Jadi kothok tidak berlaku untuk kopi saja,” terangnya yang juga pemerhati sejarah. (Jam).