Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 sudah masuk pada tahapan Penetapan jumlah minimum dukungan persyaratan dan persebaran pasangan calon perseorangan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 26 Oktober 2019 sesuai Peraturan KPU 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada.
Pilkada serentak 2020 yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dari Gubernur, Bupati dan Walikota sebanyak 270 (dua ratus tujuh puluh) daerah dengan rincian 9 (sembilan) pemilihan Gubernur, 224 (dua ratus dua puluh empat) pemilihan Bupati, dan 37 (tiga puluh tujuh) pemilihan Walikota.
Dalam Undang-undang 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada menyebutkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dan/atau pasangan calon perseorangan yang didukung sejumlah orang.
Artinya Pasangan calon tidak harus dari partai politik namun bisa maju dari jalur perseorangan dengan syarat-syarat tertentu sesuai aturan yang ada. Demokrasi di Indonesia bahwa warga mempunyai hak pilih untuk memilih dan dipilih.
Adanya calon perseorangan adalah tuntutan sejarah, setelah di era orde baru para kepala daerah mulai dari Gubernur, Bupati Dan Walikota hanya dipilih atau diusung oleh partai politik (parpol). Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tidak dari parpol bisa ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan bisa menang. Karena dalam Undang Undang 1945 menjelaskan setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Majunya calon perseorangan dalam pilkada bukan menjadi hal baru. Pada Pilkada serentak tahun 2015 menjadi bukti adanya 135 pasangan calon perseorangan berbondong-bondong maju dan bisa ikut berpartisipasi menduduki jabatan kepala daerah.
Dari 135 paslon tersebut hanya 13 Paslon yang terpilih dan menduduki jabatan sebagai kepala daerah, diantaranya Kota Tomohon, Kota Tanjungbalai, Kota Bukittinggi, Kota Bontang, Kota Banjarbaru, Supiori, Sabu Raijua, Rembang, Rejanglebong, Kutai Kertanegara, Ketapang, Gowa dan Kabupaten Bandung.
Sedangakan pada Pilkada serentak 2017 ada 68 paslon perseorangan dan hanya dimenangkan 3 paslon yakni di Kabupaten Pidie, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Sarmi. Kemudian Pilkada serentak 2018 hanya ada 8 (delapan) Paslon perseorangan dari delapan Provinsi, namun hanya 3 (tiga) Provinsi yang lolos pemberkasan oleh KPU.
Ini sangat menarik untuk dibahas, karena dari periode tahun ke tahun selama adanya pilkada serentak, calon perseorangan mengalami penurunan dan menjadi tidak ketertarikan tersendiri. Bahkan bisa jadi pada pilkada serentak 2020 tidak adanya calon perseorangan yang maju karena rumitnya syarat dan aturan yang harus dipenuhi secara teknis.
Bagi paslon perseorangan selain menyiapkan syarat dan dukungan, dilain sisi yang wajib dimiliki yakni popularitas/ketokohan, ekonomi dan kepemimpinan (Leadership). Karena tiga unsur tersebut sangat menentukan kemenangan dan termasuk setrategi-setrategi jitu, pemetaan kerawanan pada wilayah-wilayah tertentu yang harus dilakukan.
Berbeda halnya dengan paslon yang diusung parpol, karena sudah ada alur dan peta politik yang tertanam dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Artinya struktur partai hingga tingkat Desa/Kelurahan menjadi bekal utama paslon dari parpol.
Akan banyak hal bagi Paslon perseorangan dalam jalur ini, akan sangat terjal dan rumit untuk bisa lolos menjadi Calon. Banyak paslon yang berguguran dalam upaya merengkuh kursi nomor satu di daerah. Tingkat keterpilihan pasangan non-parpol ini cenderung rendah bahkan belum sampai kompetisi dimulai sudah mengalami keguguran ditengah jalan.
Misalnya pada penelitian administrasi, penilitian jumlah minimal dukungan dan sebaran, penelitian faktual dilapangan. Jika data-data tersebut tidak disipakan dengan baik, maka paslon bisa dinyatakan tikak lolos oleh KPU. Tentunya paslon harus menyerahkan minimal syarat dukungan melebihi yang telah ditentukan.