Bagi sebagian orang, sebagian lagi adalah saya. Tahun ini adalah tahun-tahun yang hambar. Tahun-tahun terakhir sebelum saya memutuskan untuk tenang dan kembali pulang ke kampung halaman yaitu Blora. Pramoedya pernah menuliskan di salah satu bukunya, bahwa Blora adalah kota yang membuatnya menangis setiap kali pulang. Dan pada kesempatan itu, satu-satunya moment yang menyedihkan adalah musim kering. Ya, barangkali baginya Blora adalah kota yang seperti itu. Hutan, hambar, dan musim kering.
Tak ada yang istimewa dari kota Blora secara geografis. Bahkan, tak jarang orang menyebutnya dengan kota mati. Pelosok, tertinggal, atau beberapa orang tak melihatnya di peta. Tentu saya ingat betul hal ini, seumur hidup saya tidak pernah menempuh pendidikan di kota Blora. Dari sana banyak diantara kawan-kawan menanyakan dimana tempatku tinggal? dimana kabupaten Blora itu? Oh, terdengar seperti di luar Jawa atau Indonesia Timur? Pertanyaan-pertanyaan serupa yang membuat saya pada posisi orang yang datang dari tempat Asing. Tentu tak semua orang sebodoh itu tidak mengetahui Blora.
Bagi orang-orang yang berwawasan luas, banyak membaca sejarah, budaya atau bahkan karya-karya Sastra mereka akan sangat takjub dan ingin berkunjung ke Blora. Mengapa? Sejarah tetaplah sejarah, banyak hal yang sudah terjadi di masa lalu dimana orang tak akan pernah melupakan kota Blora. Sederhana, orang-orang besar di bidang Sastra dan Jurnalistik telah lahir disana; Mas Tirto Adhie Soerdjo, Mas Marco Kartodikromo, Pramoedya Ananta Toer, dan sekarang dunia sedang kembali bertemu dengan sosok Soesilo Toer.
Mereka semua adalah seorang penulis dan pengarang sepanjang masa, di Indonesia atau bahkan di dunia. Karya-karya mereka telah menembus jaman, segala yang mereka tulis dan mereka karang mampu menjadi pedoman dan hegemoni, bahkan saat kita baru saja kedatangan zaman 4.0. Karya Mas Tirto misalnya, salah satu cerpen fiksinya berjudul “Membeli Bini Orang” (dimuat di Medan Prijaji th 1909 M) salah satu rekaman yang kuat bagi saya untuk mempelajari bagaimana konflik sosial dan persoalan perempuan pada zaman itu, ya, saya rasa hari ini kita berada ruang keberuntungan. Segala daya telah dicapai oleh mbah-mbah kita untuk memperjuangkan kemanusiaan, hari ini kita sudah dilindungi secara Hukum meskipun hukum negara kita masih terkadang matre. Namun, setidaknya kita diberi jalan kemudahan dalam meneruskan perjuangan itu. Jika kita membaca kembali perjuangan Mas Tirto Adhie dalam menegakkan keadilan terlebih soal politik dan ekonomi melalui media jurnalistik, kita tak akan habis berkata. Tak selesai di Mas Tirto, murid didiknya di pengasingan yaitu Mas Marco, karya-karyanya yang sungguh luar biasa. Kita tau yang paling epik adalah kumpulan sajaknya “Syair Rempah-rempah” yang dia persembahkan pada dunia sastra tahun 1919 M oleh penerbit NV Sinar Djawa Semarang. Sajak-sajaknya adalah kalimat revolusioner bagi siapapun yang membacanya. Mas marco, di jaman itu, telah membuka jalur baru perlawanan yaitu dengan tulisannya yang tajam “Sama Rasa dan Sama Rata”. Kumpulan sajaknya ini ditulis saat berada di penjara. Saya membayangkan Mas Marco ini adalah sosok pemuda yang lantang di keramaian dan tegap di kesepian, dalam sepinya di penjara dia telah melahirkan orasi dalam kata yang sampai hari ini saya bahkan berapi-api saat membacanya.
Selanjutnya, Pramoedya Ananta Toer, serta adik nya Soesilo Toer, yang mungkin masih akrab dan dekat dengan kita di Blora. Kita akui saja, betapa sastra dunia standing dan riuh tepuk tangan sampai hari ini. Karya-karya mereka seolah seperti catatan sejarah perkembangan negara ini. Mereka berdua juga tak lepas dari buaian jeruji besi dalam proses berkarya.
Sama, saya menganggap Tahanan Politik adalah mereka yang berani menulis sejarah yang tak akan pernah ditulis di buku-buku sejarah sekolah-sekolah negeri!
Maka, sebetulnya yang saya pertanyakan adalah, mengapa diantara orang-orang itu adalah orang kelahiran Blora? Entahlah, bagi saya ini adalah persoalan panjang barangkali melibatkan praktisi metafisik atau semacamnya. Lalu yang tentu dapat kita catat dan ingat hingga nadi adalah, mereka telah berjuang menegakkan kemanusiaan melalui sastra. Blora, kita pakai saja sebagai kode untuk spirit juang itu.
Blora, Hari Kemerdekaan 2020
Tentang penulis : W sanavero adalah penulis asli Blora, salah satu karya tulisnya buku prosa “Perempuan memesan takdir”
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com