Pasisir
Setelah penggulingan Majapahit, negara Hindu-Budha Jawa besar terakhir, pusat kekuasaan berangsur pindah ke pelabuhan pantai utara (Pasisir). Negara-negara maritim Islam ini mendominasi perkembangan Jawa selama abad ke-limabelas dan ke-enambelas, tetapi berkurang selama seratus tahun berikutnya, yang pertama oleh gerak ekspansi wilayah negara Mataram Jawa Tengah, dan kemudian oleh VOC dalam rangka mencari pengaruh dagang dan politiknya.
Meskipun penaklukan oleh militer Mataram adalah peristiwa paling dramatis dalam proses penyusutan dominansi ini, tetapi ini hanyalah sebuah awal, karena masih diracik bentuk struktur pemerintahan yang sesuai untuk mengendalikan wilayah ini sepenuhnya. Dan wajib dikontrol, karena kota-kota pelabuhan dan kerajaan pantai utara adalah gerbang masuk ekonomi dan juga militer ke Jawa Tengah. Inti kutub Pasisir, secara umum terletak di sekitar tanduk utara daerah Semarang-Japara-Rembang yang, dengan pertanian, perikanan, hutan jati dan pelabuhannya, merupakan pusat kota yang telah lama tumbuh dan berkembang. Daerah barat, membentang mengikuti sungai Pemali Brebes, Pemalang, Tegal dan Pekalongan. Di timur, gugusan Kabupaten yang berpusat di Surabaya membentuk wilayah mereka sendiri.
Mataram, pada kenyataannya, hanya memiliki sekitar lima puluh tahun untuk mencoba menguasai sepenuhnya wilayah Pasisir. Selama periode itu berbagai aturan dicoba dengan keberhasilan yang beragam. Masalah utamanya adalah, bagaimana menemukan bentuk pemimpin daerah yang tunduk dan tetap sejalan dengan istana. Sementara tidak dimungkinkan untuk mentransfer dengan serta merta semua keluarga penguasa lama menjadi penguasa baru.
Pemerintahan Mataram Pasisir terdiri dari beberapa jenis. Ada negara pelabuhan penting di bawah seorang pemimpin yang kuat, terkadang tinggal di kota mereka sendiri dan berapa tinggal di pusat istana, yang bertanggung jawab atas beberapa kepala bawahan dan diawasi langsung oleh pejabat tertinggi kerajaan. Ada juga satuan yang lebih kecil di bawah seorang Ngabehi atau seorang pemimpin dengan pangkat sama, yang langsung di bawah pemerintahan pusat dan bukan termasuk bagian dari kepala daerah yang lebih besar. Catatan VOC mengabarkan keberadaan Strandgouverneurs (Gubernur pantai), dan kadang-kadang Syahbandar (pengelola pelabuhan) di kota-kota besar ini menangani perdagangan, dan seperti halnya Kompeni, mereka mempunyai koneksi dengan kekuatan asing. Pada tahap selanjutnya, wilayah yang berada di belakang pelabuhan semacam itu, diperintah oleh orang-orang berbeda disebut “Bupati Tanah”. Dalam beberapa kasus, ketika “Gubernur” ini adalah seorang Raja yang tinggal di Istana, mereka secara lokal diwakili oleh pejabat yang disebut Kiyai Lurah.
Mataram berusaha mengendalikan pemimpin Pasisir setelah penaklukannya, dan terkadang mengharuskan sebuah tindakan “kejam”. Sultan Agung (1613-46) menghancurkan “istana” Pati dan sebagian besar keluarga penguasa Madura. Amangkurat I (Tegal Wangi, 1646-77) membunuh Bupati Surabaya, Semarang, Pati dan Japara. Meskipun para penulis sejarah VOC terkejut dengan kejadian dramatis itu, pada kenyataannya Kompeni sendiri juga melakukan pembunuhan selama awal abad ke-18 untuk mengamankan posisinya di Pasisir timur dalam menghadapi para penguasa Surabaya dan Sampang (Madura barat).
Tahun 1709 terlihat VOC dalam posisi yang cukup kuat untuk memasukkan Pasisir ke dalam cetakan sesuai dengan pola mereka. Sistem rumit dari berbagai kepala daerah dengan tingkat hubungan dan kewajiban yang berbeda-beda kepada pusat, disederhanakan menjadi empat puluh tiga Kabupaten, dan semua langsung di bawah Sunan (sehingga lebih mudah diakses oleh Kompeni). Menurut teori Belanda, Bupati pasisir memiliki kewajiban ekonomi dan politik tertentu untuk VOC – terutama tugas untuk menyediakan contingenten en verpliohte levevingen (kontingen dan pengiriman wajib). Kontingen tersebut dikatakan sebagai iuran kecil tahunan yang wajib dibayarkan kepada Kompeni sebagai tanda kesetiaan politik, sedangkan pengiriman wajib adalah beras dan produk lain yang dijual kepada VOC dalam jumlah yang disepakati. Tetapi, walaupun secara teori hal pertama menyertakan jumlah nominal yang tak banyak, dan yang terakhir dimaksudkan untuk menjadi semacam pembagian ekonomi secara adil, tetapi dalam praktiknya, pengiriman wajib dan kontingen adalah upeti skala besar pedagang yang harus dikirim kepada Kompeni dengan pembayaran tertentu. Bupati sebenarnya menjadi tangan kanan Belanda, mengekstraksi secara penuh semua sumber daya dan tenaga kerja dari penduduk di wilayah mereka sendiri.
Lebih sulit menemukan keluarga penguasa lama di Pasisir daripada di pedalaman Jawa Barat atau Jawa Tengah. Pantai, dengan hubungan niaga dan orientasi Islam internasionalnya, mau tidak mau menjadi wilayah yang lebih terbuka bagi dunia asing. Memang, karena sebagian besar Wali berasal dari Arab atau sebagian pedagang berasal dari Arab, banyak keluarga Bupati pasisir memiliki darah Arab, dan biasa dikatakan keturunan dari Nabi Muhammad. Pengetahuan tentang ilmu Islam atau perdagangan akan dihargai di negara-negara pelabuhan Pasisir, dan banyak Syahbandar asing atau ulama pengembara yang naik ke tampuk kekuasaan dan meninggalkan anak-anaknya sebagai bagian dari elit Jawa. Pedagang kaya dari berbagai negara juga menikah dengan kaum bangsawan: ada Bupati berlatar belakang Cina, seperti Mas Tumenggung Astrawidjaja, seorang Bupati Semarang awal abad ke-18, di antara banyak lainnya. Karena aristokrasi pantai itu sendiri erat dengan dunia perniagaan, ada banyak kesempatan untuk menjalankan skenario semacam itu.
Asal usul Bupati pasisir sangat beragam, tetapi bukan menjadi faktor terpenting yang menyulitkan penelusuran latar belakang mereka. Besarnya intervensi oleh Mataram dan VOC dalam politik lokal di pantai berarti bahwa, pada dasarnya, lebih sedikit keluarga yang kontinyu dalam pemerintahan. Karena dominasi Belanda sepenuhnya dimulai di sana setidaknya seratus tahun lebih awal daripada di sebagian besar daerah lain di Jawa, keadaan Pasisir sangat terpengaruh oleh pendekatan Kompeni yang kurang informasi dan sewenang-wenang terhadap urusan pribumi. VOC kurang sekali memperhatikan hal-hal seperti titulatur Jawa dan silsilah trah biru. Pada akhirnya, penggunaan gelar bangsawan seorang Bupati di pantai sering kali tidak bisa dibenarkan, dengan asal usul gelarnya. Kepura-puraan semacam itu lebih umum terjadi di Pasisir daripada di tempat lain di Jawa.
Mungkin dapat dikatakan bahwa proporsi “orang baru” lebih tinggi di wilayah Pesisir daripada pedalaman Jawa Tengah. Ada beberapa keluarga yang terkenal dan sudah lama berdiri, termasuk keluarga Blora (Tjokronegoro) dan Tegal, tetapi hanya sedikit yang memiliki tingkat keberlanjutan yang langsung dan sederhana di satu Kabupaten.
Dua dari keluarga Bupati pasisir paling terkenal adalah Tjitrosoman. Tjitrosomo I, juga dikenal sebagai Raden Ragil Djiwosuto, keturunan dari Dewa Agung, Raja Bali, melalui penguasa Blambangan dan Sedayu. Dia diangkat menjadi pemimpin Japara oleh Sultan Agung, dan diberi 1.000 jung tanah setempat untuk tanah lungguh-nya. Dari empat puluh tujuh anaknya sembilan adalah Bupati: dua di Japara, dua di Magetan (satu kemudian pindah ke Demak), yang lain di Blora, Surabaya, Juana, Ponorogo dan Grobogan. Salah satu putrinya, Njai Adjeng Bos, menikah dengan seorang Belanda. (bersambung…)
Tentang penulis: Totok Supriyanto merupakan pemerhati budaya
*Opini di atas adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Bloranews.com