Dari semua posisi ini adalah Bupati yang memiliki hubungan paling dekat dengan model dan gaya pemerintahan lama. Kabupaten biasanya didasarkan pada entitas politik yang memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari negara yang lebih besar, atau, umumnya, merupakan daerah semi-otonom dengan cirinya sendiri. Bupati dapat dianggap sebagai ahli waris langsung para pemimpin dan penguasa negeri bawahan pada masa pra-kolonial, dan Parlemen Belanda memberikan legal formal kecenderungan ini, untuk memastikan, di bawah konstitusi 1854, pengangkatan Bupati haruslah secara turun-temurun sebagai standar minimal ketentuan yang harus terpenuhi.
Tidak ada pejabat lain yang memiliki hak seperti itu. Adalah tipikal konsep Belanda tentang peran Bupati, bahwa mereka tidak dijadikan bawahan bagi Asisten Residen, tetapi diharapkan berfungsi sebagai penasehat tepercaya dalam semacam hubungan persaudaraan. Dengan demikian, kesamaan fisik biasa terjadi antara Divisi seorang Asisten Resident (Afdeeling) dan Kabupaten seorang Bupati, tidak ada batasan kekuasaan dan tanggung jawab yang jelas. Kedua pejabat itu bertugas menjaga keamanan dan kesejahteraan umum di wilayah yang sama, meskipun ada perbedaan dalam penekanan atau dalam tugas-tugas khusus. Oleh karena itu, walaupun pada praktiknya Asisten Residen sering memberi perintah kepada Bupati sekitar, tetapi Bupati, pada dasarnya hanya tunduk pada Resident.
Karena prinsip “turun-temurun” dan status khusus itu telah diberikan kepada Bupati dan berlangsung lama semenjak masa kolonial, ada kecenderungan yang kuat bagi Bupati untuk membentuk kelas khusus, kasta darah biru atau kaum ningrat, sebagai wujud utama budaya elit tradisional dan berfokus utama pada sentimen politik populer pedesaan. Meskipun ada sedikit pergerakan dalam kelompok Bupati, mereka tetap saja eksklusif, menjalin hubungan nikah di kalangan sendiri dan sangat sadar akan statusnya yang lebih tinggi. Kolonial lebih menyukai kaum ningrat dan pejabat dengan bukti loyalitas, sehingga tidak mengherankan jika keluarga Bupati menikmati keuntungan tambahan selain jabatan tinggi yang mapan, berupa akses yang relatif mudah atas manfaat pemerintah Belanda, terutama pendidikan maju ala Barat. Salah satu hasilnya, terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah menjadi target utama pihak oposisi nasionalis, adalah bahwa porsi besar elit profesional dan pemerintahan di Indonesia pasca kemerdekaan berasal dari kalangan keluarga besar Bupati.
Bupati adalah pejabat yang sangat menarik dalam sejarah Jawa: mereka sangat identik dengan tradisi politik asli dan kerajaan lama, namun mereka juga sangat dipengaruhi campur tangan Eropa. Setiap terjadi pergeseran situasi masyarakat di suatu tempat, perubahan sikap dan kebijakan kolonial semuanya tercermin dalam perubahan sosial juga politik pemerintahan Bupati.
Secara definitif dan dalam hirarki sosial-politik Jawa, Bupati mempunyai hubungan ke tingkat yang lebih tinggi maupun ke tingkat yang lebih rendah, keatas: ke penguasa pusat, dan kebawah: ke penduduk Kabupaten. Mereka juga dihubungkan oleh sebuah jaringan yang terdiri dari orang-orang statusnya kurang lebih sejajar. Secara keseluruhan, posisi mereka ditentukan berdasarkan hubungan yang kompleks, dalam upaya menyeimbangkan diri mereka sendiri dengan keadaan. Hubungan antara Bupati dan penguasa pusat ini sangat penting, karena dinamika kekuatan daerah cenderung berdasar atas prakarsa Bupati, artinya, seberapa jauh seorang kepala bawahan ini menegaskan sikap patuhnya sendiri, atau sejauh mana pusat Istana benar-benar dapat mengatur wilayahnya.