fbpx
OPINI  

BOYONG KARTASURA

BOYONG KARTASURA
Ilustrasi

Susuhunan Paku Buwono II dapat kembali memasuki keraton Kartasura pada tanggal 21 Desember 1742 dengan pengawalan serdadu Kompeni. Namun kondisi keraton telah rusak berat, terbakar setelah diduduki musuh sehingga sudah dianggap tidak layak dipergunakan sebagai kediaman raja.

 

BOYONG KARTASURA
Ilustrasi

 

Sang Sunan mengutus dua orang patihnya, yakni adipati Pringgalaya dan adipati Sindureja, dibantu mayor Hohendorf dan bupati-bupati lainnya yang masih setia untuk mencari lokasi keraton baru. Dari 3 pilihan tempat, diputuskan desa Sala, yang terletak di tepi sungai besar bengawan Solo, karena letaknya strategis dan mudah dicapai dari pantai apabila keadaan memaksa. Kelak di desa Sala ini berdiri megah keraton Surakarta.

Acara boyongan dari Kartasura berlangsung di pagi hari, Rabu-kliwon 17 Sura tahun Dje 1760 AJ (kombuling pudya kapyarsi-ing nala). Ditandai dengan tiga kali bunyi meriam, dimana meriam Nyai Setomi ikut menjadi bagiannya.

Prosesi tersebut urutannya diatur sebagai berikut:

  • Dua bibit pohon Waringin Kurung di depan, yang diambil dari alun-alun Kartasura;
  • Bangsal Pangrawit, yang dibawa utuh;
  • Gajah Sunan dengan Srati-nya;
  • Kuda Sunan dengan Gamel-nya ;
  • Para Punggawa, Mantri, Panewu, para Bupati dan Nayaka djaba dan anonanon dengan menunggang kuda dan dengan payung, menemani upacara dikepalai patih;
  • Lima brigade pasukan Kompeni, di bawah mayor Hohendorf yang menunggang kuda, bersama;
  • Putra Mahkota;
  • Pengulu dengan Kétib, para Suranata dan para Perdikan;
  • Pusaka Kyai Cengka Baladewa;
  • Para Pengeran;
  • Susuhunan di atas kereta kencananya, dikelilingi oleh Keparak Kiwa dan Keparak Tengen dengan warna merah, membawa uborampe Upacara: Banyak Dalang, Sawunggaling, Ardawaleka, dll., di bawah Bupati mereka;
  • Tandu-tandu, Joli, Cempana-cempana dalam rangkaian yang panjang, tempat naiknya Ratu Kencana, para putri, dan istri para punggawa;
  • Abdi Gedong Kiwa dan Gedong Těngěn, dan Abdi Kraton Penandon di bawah Bupati mereka;
  • Pusaka-pusaka kerajaan dalam kotak, di bawah payung kuning, dikelilingi oleh tentara yang menunggang kuda;
  • Para Bupati Pasisir dan Mancanegara dengan upacara mereka, dengan menunggang kuda, di bawah payung, dengan bendera dan panji-panji yang indah.

Para pribumi bermain gamelan dan Kompeni bermain musik drum di sepanjang jalan. Dalam prosesi yang sangat lama itu, melibatkan lebih dari 50.000 penunggang kuda. Setibanya di Sala, Bangsal Pengrawit disimpan di Pagelaran yang telah dibangun sebelumnya. Pangeran duduk di Bangsal Pengrawit, sementara para panglima dan punggawa berdiri di sebelah kanannya. Para prajurit berkumpul dalam antrean panjang di alun-alun.

Para Pengulu, Ulama, Ketib berdoa untuk keselamatan kraton baru ini. Susuhunan menanam Waringin kurung, di sebelah utara didampingi dua Patih, para Bupati, Bekel dan para Nayaka, sedangkan di sebelah selatan, dengan para Bupati Mancanegara.

Kemudian meriam ditembakkan sekali lagi, dan bedil-bedil ditembakkan ke atas, setelah itu gamelan dan musik dapat didengar kembali. Setelah seluruh prosesi selesai, sang Sunan menuju ke Kedaton, pejabat kerajaan menuju Pondok mereka, dan orang-orang Belanda diberi tempat tinggal sebelah timur alun-alun, sebelah utara keraton.

 

Tentang penulis: Totok Supriyanto adalah pemerhati sejarah dan budaya.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com