Jipang ( 13/02/2016 ) Kabupaten Blora terbukti memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang tak habis digali. Setiap jengkal tanah di Kabupaten Blora memiliki warisan kebudayaan dan sejarah yang menceritakan tentang betapa para leluhur Kabupaten Blora memiliki kedalaman pemikiran dan kemarihan yang sangat tinggi pada jamannya. Sebut saja desa Jipang di Kecamatan Cepu, desa ini menyimpan cerita masa lalu, dijaman keemasan Kerajaan Jipang Panolan dan Rajanya yang terkemuka, Harya Pengangsang.
Pada abad XVI, desa Jipang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Jipang. Di desa ini juga terdapat banyak sisa – sisa peninggalan Kerajaan Jipang yang belum diteliti secara mendalam, oleh masyarakat desa Jipang sendiri lebih – lebih Pemerintah Kabupaten Blora. Untuk meneliti peninggalan arkeologi di desa Jipang akan memakan waktu yang sangat lama, dan perencanaan akan sebuah penelitian yang berkelanjutan.
Beberapa peninggalan Kerajaan Jipang yang masih dapat kita temui diantaranya, Makam Gedong Ageng, Siti Hinggil, Makam Santri Songo dan Benteng Bengawan Sore. Beberapa dari peninggalan tersebut, saat ini berada di luar Kecamatan Cepu dan masuk ke Kecamatan Kedungtuban karena terdapat batas administratif yang memisahkan antar kecamatan. Pergeseran batas wilayah seperti ini sangat sering terjadi manakala terjadi pergantian penguasa antar jaman. Mungkin, di daerah – daerah lain di tanah air juga mengalami pergeseran yang sama.
Bengawan Sore, merupakan peninggalan Kerajaan Jipang yang menunjukkan betapa tingginya ketrampilan para leluhur Kabupaten Blora dalam memanfaatkan bentang geografis. Terletak di tepi Bengawan Solo membuat Kerajaan Jipang menjadi pelabuhan sungai yang cukup sibuk pada jamannya. Situasi geografis ini, selain membawa berkah bagi Kerajaan Jipang juga menimbulkan potensi ancaman yang tidak kecil. Dibutuhkan kemampuan pengenalan potensi alam yang tinggi untuk menaklukkan ancaman ini.
Menjawab tantangan alam tersebut, para petinggi Kerajaan Jipang menggali sungai buatan mengitari ibu kota kerajaan, desa Jipang. Sungai buatan ini bermuara di sungai terpanjang di pulau Jawa, Bengawan Solo. Aliran sungai Bengawan Solo melewati sungai buatan sehingga mengurung ibu kota dengan genangan iir yang cukup untuk menenggelamkan pengendara kuda. Kebiasaan air di Bengawan Solo adalah pasang ketika senja hari, luapan air dari Bengawan Solo kan memenuhi galian sungai buatan ini. Karena sungai buatan semakin dalam saat senja hari, sungai buatan ini oleh warga Kerajaan Jipang dinamakan Bengawan Sore.
Setelah sungai buatan selesai dibangun, sungai tersebut diberi rajah ( jimat / mantra ) yang berisi kutukan kepada mereka yang nekad menyeberanginya. Tidak ada perkecualian dalam kutukan ini, siapapun yang menyeberang melintasi Bengawan Sore tanpa melewati pintu gerbang ibu kota dipastikan akan binasa. “ Dalam budaya modern, melewati pintu gerbang ibu kota ini sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk memeriksa para pendatang dan barang yang mereka bawa. Barang – barang tertentu dikenakan pajak, ternak misalnya. Para leluhur kita memiliki manajemen kontrol yang terpadu dengan sistem tata kota yang terencana.” Tutur Purwadi ( 47 ) salah satu warga desa Wadu Kecamatan Kedungtuban yang sering mengunjungi tempat – tempat bersejarah di desa Jipang.
Kesaktian tuah Bengawan Sore yang tanpa kompromi terbukti membinasakan mereka yang mencoba melintasinya tanpa melewati gerbang ibu kota. Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui cerita tentang duel paling bersejarah dalam kisah Kerajaan Jipang, duel antara Harya Penangsang melawan Sutawijaya.
Diceritakan pasukan Kerajaan Pajang datang menyerang Jipang. Sebelumnya, salah satu pasukan Kerajaan Jipang datang kepada Harya Penangsang dengan membawa surat tantangan dari Raja Pajang, Hadiwijaya. Panas hati menerima surat tantangan yang dibawa oleh salah seorang pasukannya yang datang dengan telinga terpotong sebelah, Harya Penangsang berangkat ke medan laga menemui pendekar utusan Raja Pajang yang bernama Sutawijaya.
Bersenjata Keris Setan Kober, Harya Penangsang berduel melawan Sutawijaya yang bersenjata Tombak Kyai Plered. Duel di atas kuda tersebut berlangsung sengit sampai ketika Sutawijaya terpojok. Mengendarai kuda betina, Sutawijaya mundur sampai di luar Benteng Bengawan Sore. Harya Penangsang mengejar Sutawijaya dengan melompati Benteng Bengawan Sore, tanpa diduga Sutawijaya menusukkan Tombak Kyai Plered ke perut Harya Penangsang.
Sekalipun terkenal akan kesaktiannya, namun Harya Penangsang telah melompati Benteng Bengawan Sore. Seketika itu pula, hanya dengan sekali tusukan dari Sutawijaya perut Harya Penangsang pun robek dan ususnya terburai. Masih bertahan, Harya Penangsang melilitkan ususnya ke pangkal keris di pinggangnya. Dalam sebuah kesempatan, Harya penangsang mencabut keris yang telah dililiti ususnya tersebut. Seketika, usus yang dililitkan di pangkal keris tersebit terpotong dan sang adipati pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Seiring bergulirnya jaman, Benteng Bengawan Sore pun semakn dangkal sampai rata dengan tanah. Saat ini, oleh penduduk setempat Benteng Bengawan Sore menjadi lahan pertanian yang dikelola warga. Sebagai pengingat tentang Kejayaan Jipang di masa lalu, masyarakat mendirikan gapura replika.
Penelitian dan kajian mendalam diperlukan untuk menyelamatkan sisa – sisa kebudayaan Kerajaan Jipang yang seakan menghilang ditelan bumi.
Reporter : Djalu T.P.
Fotografer : Az Zulfa