Kedungsatriyan ( 02 / 01 / 2016 ) Setiap desa di Blora memiliki kisahnya sendiri, demikian pula dengan desa Kedungsatriyan. Terletak di antara desa Talokwohmojo Kecamatan Ngawen dan Kecamatan Banjarejo, penduduk desa Kedungsatriyan menggantunkan kehidupannya pada sektor pertanian. Seperti desa lain di Kabupaten Blora, berkembang sebuah legenda yang erat kaitannya dengan dunia pertanian yaitu warga desa Kedungsatriyan berpantang memakan belut sawah.
Diceritakan oleh pemuka agama ( modin ) desa Kedungsatriyan Jumiran ( 56 ), bahwa tradisi tidak makan belut sawah telah dijalani warga desa Kedungsatriyan sejak ratusan tahun yang lalu. Legenda ini dibenarkan juga oleh sesepuh desa Kedungsatriyan, Mbah Wajib ( 103 ). Menurut Mbah Wajib, warga desa Kedungsatriyan berpantang memakan belut sawah sudah sejak jaman para wali. Menurut kakek sepuh ini, pada jaman dulu parara wali memiliki daya linuwih dan kesaktian untuk melakukan hal – hal yang luar bisa, dan kadang – kadang tidak dapat dilogika secara umum.
Legenda ini, dimulai pada suatu malam di musim penghujan ratusan tahun yang lalu. Ketika itu musim tanam telah tiba, benih – benih padi telah mulai bertunas. Datanglah seorang pencuri benih padi, mengendap – endap di pematang sawah. Pencuri itu tidak menyadari bahwa malam itu, seorang wali mengawasi aksinya. Setelah beberapa waktu berjalan, wali tersebut berkata “ sopo iku ? kok clupak – clupuk ? “ ( siapa disana ? kok berisik sekali ? ) seketika sang pencuri menjawab “ aku welut !” ( saya belut sawah ). Seketika itu, sang pencuri benih padi pun benar – benar menjadi seekor belut sawah. Menyadari kejadian ini, sang wali bergumam, bahwa semenjak malam itu warga desa Kedungsatriyan tidak diperkenankan untuk menyantap belut sawah.
Petuah sang wali benar – benar dijalankan oleh penduduk Kedungsatriyan sampai hari ini. Warga kedungsatriyan tidak memakan belut sawah, baik ketika masih di dalam desa ataupun ketika merantau keluar kota. Dituturkan oleh Mbah wajib, beberapa tahun silam ada seorang pemuda yang sedang merantau keluar kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Ketika tiba jam makan siang, pemuda tersebut menyantap keripik belut. Beberapa jam kemudian, sang pemuda merasakan perutnya mulai sakit. Perut pemuda itu, perlahan – lahan membesar dan seminggu kemudian pemuda tersebut meninggal dunia.
Mungkin, cerita tentang pemuda di atas bukan disebabkan oleh keripik belut tetapi bisa jadi disebabkan oleh faktor yang lain. Tetapi warga desa Kedungsatriyan benar – benar menganggap bahwa tragedi yang menimpa pemuda di atas disebabkan oleh pelanggaran tradisi yang telah dipercaya selama ratusan tahun.
Menutup cerita di atas, Modin desa Kedungsatrian menuturkan bahwa hikmah dari legenda rakyat di atas adalah mencuri merupakan perbuatan nista, yang membawa akibat buruk bagi para pelakunya. Selain itu, ecrita di atas juga menyiratkan bahwa lahan pertanian yang telah ditanami jangan dirusak, karena pertanian merupakan penyangga kehidupan masyarakat desa.
Banyak cerita rakyat yang berkembang di desa – desa di kabupaten Blora. Bisa jadi, di tempat anda tinggal juga terdapat kisah – kisah yang sama dengan tokoh – tokoh lokal sebagai figur utama cerita. Mempercayai atau menyangkal sebuah cerita rakyat merupakan hak dari pendengar cerita. Sekalipun demikian, cerita rakyat yang berkembang selalu menyimpan ajaran – ajaran moral yang tidak usang digerus zaman. Ajaran mulia untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
Reporter : Andhika Putri ( andhikaputri480@gmail.com )
Fotografer : Aliph Bengkong