“Beberapa pemuda melangkah, memanjat rangkaian bambu dimana banner tertambat. Jam menunjukan pukul 02.00 dini hari. Gelap nyaris sempurna. Dan hawa dingin membekap. Tapi itu tidak menghalangi pemuda pemuda untuk terus membereskan sisa sisa dekorasi pasca pertunjukan. Tak butuh waktu lama banner bertuliskan “Keroncong Camp” berhasil diturunkan dan dilipat..”
Saya mencoba menarasikan ulang apa yang saya peroleh dari tutur seorang panitia. Malam itu, rangkaian acara perayaan Agustusan Kecamatan Kunduran berakhir.
* * *
Sebagaimana banyak wilayah di seluruh pelosok Nusantara, gema perayaan kemerdekaan RI yang rutin diselenggarakan tiap taun pun terasa di Kabupaten Blora.
Di tengah hiruk pikuk itu, peringatan Agustusan di Kecamatan Kunduran-lah yang menarik perhatian saya. Di kecamatan ini, khususnya area kelurahan, peringatan kemerdekaan tak semata diisi dengan lomba-lomba ataupun foya-foya. Tetapi juga mengajarkan setiap kita tentang makna kemandirian, saling berbagi, dan keakraban antar warga.
Kemeriahan Agustusan di Kunduran berlangsung nyaris sebulan penuh, lantaran bersamaan dengan perayaan Suronan yang menjadi ritual tahunan masyarakat jawa pada umumnya.
Lazimnya, untuk pembiayaan peringatan Agustusan, warga menggalang dana dari rumah ke rumah. Namun, penggalangan dana ini menjadi polemik di beberapa kecamatan karena dianggap sebagai pungli. Akhirnya, di beberapa kecamatan tersebut rangkaian peringatan Agustusan menjadi kurang meriah lantaran kurang pendanaan.
Namun kondisi itu tidak terjadi di kecamatan Kunduran. Pasalnya, sejak awal para pemuda Kunduran, yang terlibat dalam kepanitiaan, tidak menyandarkan pendanaan kegiatan agustusan yang mereka inisiasi dari proposal. Tetapi, mereka menggalang dana antar “mereka” sendiri secara kolektif. Mekanisme kegiatan seperti ini menunjukkan kemandirian, dan sangat patut menjadi contoh.
Puncak acara digelar Keroncong Camp yang diawali dengan _kirim doa_ dan _pembacaan tahlil_ yang diikuti segenap anak muda Kunduran serta sejumlah pejabat Forkompimcam. Selain untuk para pahlawan bangsa yang telah gugur demi tanah air, doa dan tahlil juga ditujukan kepada para pelopor pemuda yang telah wafat, seperti Agung Setiawan (agung sityang mblonten), pelukis dan penyair, dan seniman-seniman lainnya.
Tentang penulis : Alifianto adhi adalah seorang aktifis pergerakan, pengamat kebijakan sosial sekaligus Pemilik Kandang Pendaki store.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com