Blora, BLORANEWS – Meningkatkan minat membaca di negeri kita membutuhkan strategi jitu. Belum lagi banyak yang bilang minat baca Indonesia nomor dua dari bawah. Duta Baca Indonesia, Gol A Gong menyampaikan beberapa hal yang sekiranya dapat meningkatkan minat baca.
Berbagai persoalan ia hadapi dalam dunia literasi Indonesia yang rendah. Banyak pejabat saat berpidato, menjadikan lelucon kalau minat baca Indonesia tertinggal.
“Semua pejabat kalau ngasih sambutan bangga, hei Indonesia (minat baca) nomor dua dari bawah, ketawa semua. Saya paling jengkel itu. Ngapain kalian (wartawan) punya koran, media online itu kan dibaca. Jadi anggapan itu keliru,” terang Gol A Gong.
Salah satu badan riset Amerika Serikat mengatakan Indonesia nomor dua paling bawah minat bacanya. UNESCO misalnya, menyampaikan hasil riset penelitian, orang Indonesia harusnya membaca tiga judul buku dalam satu tahun.
“Tapi temuan perpustakaan nasional, tiga buku dalam satu tahun tidak sanggup, kurang buku kita. Cuma ada satu buku dikeroyok 90 orang,” ungkap Gol A Gong saat ditemui di Blora belum lama ini.
Ia mengasumsikan, jika penduduk Indonesia 270 juta diambil 100 juta. Untuk tiga tahun baru 300 juta. Perpustakaan nasional hanya menyediakan 40 sampai 90 juta per tahun.
“Saya tanya ke negara, ini kenapa? Tidak ada anggaran atau bagaimana? Ternyata tidak ada penulisnya, penulis kurang. Coba siapa penulisnya, saya lagi, Andrea Hirata lagi, Eka Kurniawan lagi, itu-itu aja. Di luar sastra ya,” ungkapnya.
Gol A Gong dilantik menjadi Duta Baca Indonesia pada 30 April 2021 menggantikan Najwa Shihab. Dalam kunjungan Gol A di beberapa daerah, ia menemukan tiga persoalan. Pertama, Kepala Dinas Perpustakaan yang merasa dibuang, dianggap tidak mendukung Bupati.
“Sehingga mengundurkan semangat pustakawannya. Karena dibuang, tidak kreatif. Beberapa kasus itu saya datangi, saya kasih motivasi. Kemudian kedua, akses ke perpustakaan susah. Ketiga, distribusi buku tidak merata. Persoalan itu yang kita hadapi,” ungkap pria kelahiran Purwakarta, Jawa Barat.
Gol A Gong yang memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris ini menilai, banyak penulis berorientasi ingin terkenal. Tanpa mempertimbangkan kelayakan karya, segala cara dilakukan. Tidak melewati prosedur yang wajar.
“Itu tidak apa-apa, biarkan saja tumbuh. Mereka harus berani bersaing di pasar bebas. Kalau penerbitan besar ada pertimbangan, buku ini bagus, laku tidak? Buku ini laku, bagus tidak?” bebernya.
Dia mengharapkan komunitas-komunitas untuk menjawab problem satu banding 90 tersebut. Persoalan lain, lanjut Gol A Gong, orang-orang di daerah tidak menghargai penulis yang berdomisili di daerah tersebut. (jam)