fbpx

DUALISME BUDAYA DAN KETERASINGAN BUDAYA TRADISIONAL

SI PELIPUR LARA YANG MENINGGAL-min
ilustrasi : picasso

BLORANEWS – Indonesia merupakan negara multikultural, karakteristik ini ditunjukkan dengan beragamnya agama, suku, ras dan budaya dalam satu negara. Namun mengutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang memiliki banyak struktur kebudayaan.

Jika melihat dari beragamnya budaya tersebut, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai warga negara memiliki kewajiban dalam menjaga kearifan budaya yang dimiliki daerah masing-masing. Tulisan ini tidak hanya ditujukan untuk memaknai budaya sebagai gejala etis, estetis, atau simbolis, tetapi juga gejala sosial.

Dualisme dan Perubahan Budaya

Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme. Ungkapan “desa mawa cara, negara mawa tata” menunjukkan adanya dua subsistem dalam masyarakat tradisional. Dua subsistem tersebut merupakan unit yang terpisah bahkan dapat bertentangan, budaya yang tumpang tindih antara nasional dengan daerah misalnya, menyebabkan disintegrasi antara keduanya. 

Dualisme kebudayaan merupakan kondisi dimana suatu wilayah menggunakan dua budaya yang berbeda sebagai suatu pedoman. Eksistensi dualisme budaya ini merupakan implikasi dari heterogenitas budaya yang terjadi pada suatu negara. Dalam sudut pandang tiap wilayah pada suatu negara, masyarakat dalam wilayah tersebut memiliki dua kebudayaan diantaranya kebudayaan daerah yang dianut sejak lahir serta kebudayaan nasional.

Secara definisi dualisme budaya memang seolah tidak memberikan dampak yang masif terhadap terjadinya perubahan sosial. Keberadaan budaya tentunya berpeluang dalam memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Namun dibalik itu masih ada gejala yang perlu kita pikirkan, selera masyarakat yang dapat berubah tentunya akan bermasalah bagi kebudayaan yang dia miliki sejak lahir.

Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat, dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia merupakan penyebab dari perubahan. Kebosanan dalam menghadapi tekanan kerja misalnya, yang mempengaruhi perubahan sosial secara tidak sadar. Dualisme budaya juga dapat memberi pilihan terhadap masyarakat yang mengalami kebosanan.

Dalam prosesnya, perubahan budaya juga didukung oleh kekuatan ekonomi dan sosial kalangan atas. Kalangan atas yang mempromosikan budayanya melalui berbagai media yang mereka miliki berpeluang dalam menjadikan kalangan bawah sebagai kalangan yang hanya mengonsumsi kebudayaan.

Tren Budaya Tinggi

Dualisme budaya memang gejala yang perlu kita terima sebagai masyarakat di Indonesia, beragamnya budaya dalam suatu wilayah sudah dilegitimasi oleh masyarakat dan negara. Namun muncul beberapa permasalahan yang disebabkan masifnya penyebaran budaya tersebut, selera masyarakat yang semula bersinggah pada budaya lokal kini mulai terkikis karena tren budaya tinggi.

Bicara tentang tren budaya, masyarakat mutakhir pasti mengalami perubahan, baik dalam perilaku, berbicara hingga berpakaian. Dari perubahan tersebut perlukah kita mengetahui penyebabnya? secara singkat mungkin kita akan menemukan penyebab perubahan tersebut melalui analisis perubahan sosial masyarakat dari perspektif tokoh dan fakta di berbagai zaman.

Saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan pandangan Kuntowijoyo yang beranggapan bahwa ada beberapa faktor kelas sosial dan ekonomi yang mempengaruhi perubahan budaya. “Sarana produksi pusat kerajaan (budaya tinggi) memang lebih kuat dibanding desa, sehingga budaya tinggi lebih mudah memancarkan sinarnya dibanding budaya desa. Masyarakat yang tiap hari disuguhi budaya tinggi melalui berbagai media tentunya akan menjadi konsumen dari kebudayaan tersebut”.

Kebudayaan tinggi terjadi di lingkungan budaya rakyat, sehingga misalnya mitologi dalam Babad Tanah Jawi dan karya-karya pujangga keraton, Yasadipura dan Ranggawarsita merasuk ke desa-desa. Beberapa pembudayaan desa ini menjadi gambaran, bahwa perubahan yang disebabkan oleh perbedaan kekuatan produsen memang terjadi di berbagai zaman.

Dari penyebab yang dijelaskan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ada semacam kekuatan yang dimiliki budaya tinggi untuk menawarkan budayanya pada masyarakat. Dampaknya masyarakat lokal akan cenderung memilih menjadi konsumen kebudayaan dibanding melestarikan budaya yang mereka miliki. Budaya lokal yang seharusnya dijaga kini hanya diakui sebagai budaya pinggiran, dan kreativitasnya hanya dianggap sebagai karya yang belum selesai dan mentah.

Dalam zaman yang cepat dalam mendapat informasi ini, kita perlu kembali merenung, bahwa budaya tidak hanya untuk dinikmati tetapi juga dijaga. Budaya lokal yang tersingkir karena selera masyarakat berubah tentu dipengaruhi berbagai faktor. Namun alangkah baiknya kita tidak perlu menistakan perkara tersebut, cukup bagi kita untuk tetap melestarikan budaya lokal yang dimiliki di berbagai daerah.

Tentang penulis: Moh Naufal Zabidi merupakan seorang peneliti di Lingkar Studi Sosiologi Agama.

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi tanggung jawab Bloranews.com