fbpx
OPINI  

ANGIN PERUBAHAN BERNAMA KHDPK

Komputerisasi dan teknologi lainnya seperti aplikasi harusnya bisa meningkatkan efisiensi, pelayanan, kemudahan dalam penyusunan data, pembayaran dll. Sistem manajemen pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blora apakah sudah baik? kita anggap saja sama-sama belum tahu, apakah sudah baik atau belum, memuaskan ataukah mengecewakan? kekurangannya di mana? dan cara memperbaikinya bagaimana?
Tejo Prabowo, LSM Jatibumi Blora.

Hutan adalah sumber kehidupan. Dari hutanlah semua kebutuhan manusia sebenarnya bisa terpenuhi. Bisa juga memakmurkan masyarakat desa sekitar hutan. Tinggal bagaimana pengelolaannya.

Sudah menjadi rahasia umum di Blora, kantong-kantong kemiskinan dan ketertinggalan ada di desa-desa pinggiran hutan. Stigma maling kayu melekat sekian lama. Hutan kaya. Rakyat melarat.

Berdasarkan data BPS, dari 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan, 36,7% termasuk kategori miskin. Sementara, angka kemiskinan di Pulau Jawa sebanyak 14 juta orang atau 52% dari total penduduk miskin nasional sebanyak 26,5 juta penduduk (BPS, 2021).

Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengelola sumberdaya hutan negara di pulau Jawa dan Madura.

Tidak kita pungkiri, salah satu akses untuk bisa mendapatkan penghidupan dari hutan salah satu caranya adalah menjadi pencuri kayu jati yang bernilai tinggi. Meski begitu, mereka harus kerja sama dengan petugas setempat. Sangat sulit bagi masyarakat pencuri kayu jati untuk tidak kerja sama dengan petugas setempat.

Tertangkap, dirampas, digebuki, dipenjara bahkan tewas sering terjadi. Praktik-praktik tindak kekerasan dan ketidakadilan sering terjadi. Korban terbesarnya selalu rakyat atau masyarakat yang tinggal di desa pinggiran hutan.

Salain mencuri atau mblandong, seiring dengan berjalannya waktu sebagian masyarakat pinggiran hutan menjadi penggarap lahan sekitar hutan. Menanam tanaman pangan di bawah tegakan. Atau lazim disebut pesanggem atau petani hutan.

Kenapa mereka dari dahulu gak bertani saja? Bukankah masyarakat lainnya di desa-desa sejak dahulu juga bertani? Jawaban dari pertanyaan di atas adalah selain bertambahnya jumlah penduduk, terbatasnya lahan pertanian dan akses minimnya akses pekerjaan juga karena rata-rata desa pinggiran hutan dan desa tengah hutan lahan pertaniannya gak seperti di desa-desa yang lain pada umumnya. Seperti di daerah Mendenrejo, Kedungtuban, Blora, Banjarejo dan lainnya.

Di mana, akses irigasi, ketersediaan air dan lahan pertaniannya masih luas. Bisa panen padi dua bahkan tiga kali setahun. Lahan pemajakan (lahan pertanian milik perorangan) di desa hutan rata-rata sangat terbatas. Kalaupun ada tak luas. Itupun kebanyakan berbentuk tegalan. Tadah hujan. Alias irigasi non teknis. Maka menjadi petani penggarap di lahan hutan di bawah tegakan menjadi satu-satunya pilihan.

Tak banyak. Rata-rata kemampuan menggarap lahan hutan di bawah tegakan cuma sekitar 0,2 sd 0,3 hektar per petani. Komoditas tanaman pangan yang ditanam juga biasanya tanaman jagung.

Ditanam disaat awal musim hujan dan bisa panen sampai Dua kali. Hal inilah yang menjadikan Blora sebagai daerah penghasil jagung nomer dua di Jawa Tengah. Dengan produksi 362,118 ton pertahun (data BPS, 2018). Setelah Kabupaten Grobogan dengan jumlah produksi lebih dari Dua kali lipatnya di tahun yang sama.

Praktik di lapangan, menggarap lahan hutan di bawah tegakan bukan tanpa masalah. Petani Gurem tersebut dengan teganya sering dipalak. Dengan alasan sharing bagi hasil. Ditingkat bawah, praktik pungut-memungut tersebut ada dan lestari. Sampai sekarang. Puluhan tahun. Entah kemana aliran dananya. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Pesanggem yang sudah begitu miskin, tidak mendapatkan akses pupuk bersubsidi, dalam keterbatasan dan keterpaksaan untuk hidup masih dipungut. Ternyata praktik ‘lebih kolonial dari kolonial’ di saat Indonesia sudah 77 tahun Merdeka masih ada.

Tak perlu dibahas siapa yang memungut. Namun, sekarang gencar teriak-teriak bahwa merekalah yang ter-zholim-i.

Awal Mei 2022, Pemerintah Pusat membuat terobosan kebijakan yang disebut Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Kebijakan ini diambil untuk mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa. Termasuk Blora tentunya. Ini hal besar. Mengingat hutan di Blora luasnya 90.416,5 Hektar atau 49,52% dari luas teritorial Kabupaten Blora.

Soal prosentase luasan, di Jawa Tengah, prosentase wilayah hutan terbesar memang ada di Blora. Kita juara. Sisa prosentase teritorial yang ada di Blora 25,38% adalah tanah sawah/tegalan. Sebesar 24,96% adalah tanah pekarangan, waduk, embung, pemukiman, perkebunan, jalan dan lain-lain.

KHDPK adalah akses pintu masuk bagi masyarakat. Terutama desa pinggiran hutan dan tengah hutan untuk turut mengelola lahan hutan secara legal yang selama ini dimonopoli oleh perusahaan BUMN kehutanan. Hal ini menyangkut peri kehidupan dan kesejahteraan banyak rakyat Blora.

Jika rata-rata pesanggem mampu menggarap 0,25 H per-pesanggem dan lahan hutan di Blora yang alih kelolakan menjadi KHDPK sebanyak 20.000 H, maka terdapat 80.000 Kepala Keluarga (KK) yang secara legal bisa mengakses lahan hutan. Untuk bercocok tanaman. Ini bisa mengentaskan angka kemiskinan di Blora secara signifikan. Ini adalah sebuah harapan baru. Nyata. Ada di depan mata.

Peluang untuk mensejahterakan rakyat Blora bukan cuma dari Dana Bagi Hasil Migas (DBH) saja. Di mana sejak dulu sampai sekarang masih fatamorgana. Masih dalam mimpi. Angan-angan.

Lantas bagaimanakah idealnya peran Pemerintah Daerah Kabupaten Blora (Pemkab Blora) dalam menangkap berkah dari KHDPK?Bukankah kita sudah tidak memiliki dinas kehutanan lagi? Banyak!

Banyak hal yang bisa dilakukan oleh Pemkab Blora. Salah satunya adalah berfokus mendampingi ribuan masyarakat petani hutan/pesanggem. Agar bisa mendapatkan akses mengelola lahan hutan seluas-luasnya secara legal. Tidak cuma memanjakan coorporate. Seperti PT. Andini Blora Gama Sejahtera (PT. ABGS). PT. ABGS bisa mendapatkan akses pengelolaan lahan seluas 300 H di lahan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM. Yang entah kapan dibangun kandang sapinya, dan datang sapinya untuk diternakkan.

Tentang penulis: Tejo Prabowo merupakan Ketua LSM Jatibumi Blora. 

*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi tanggung jawab Bloranews.com