Kita terlalu sering untuk meleburkan pribadi kepada identitas kelompok. Kepada agama, partai, organisasi, atau suatu identitas kolektif lainnya. Sehingga kita sering lupa bahwa sejatinya kita adalah individu yang merdeka. Individu sebagai subjek eksistensial yang bebas (freedom), bukan objek parsial yang terenggut keabsahannya oleh massa.
Konon, Indonesia terbangun dari asas kekeluargaan yang lebih mementingkan kepentingan kelompok (saling terikat dan mengikat). Sehingga tabu bagi kita ketika menyuarakan kepentingan individu dan kebebasan.
Mungkin karena keduanya lekat dengan stereotipe dunia barat, serta stigma negatif yang sudah terlanjur melekat, acapkali menciptakan konsepsi individualisme dan kebebasan yang buram.
Individualisme, sering disandingkan selaras dengan egosentrisme, sebagai sikap nir-empati terhadap orang lain atau mementingkan diri sendiri. Dan kebebasan selalu berkonotasi pada hal-hal yang negatif, seperti sex bebas, pergaulan bebas, dll.
Terlebih, adanya dikotomi soal “Timur” dan “Barat” kian menambah sikap anti dan resisten. Memperparahnya dengan merasa dituntut untuk menciptakan “pembeda” di antara keduanya: jika mereka sekuler, maka kita religius: jika mereka individual, maka kita kolektif, dst. Adanya tuntutan pembeda itu, sebenarnya bisa dilanjutkan dengan pertanyaan sinis: jika peradaban mereka maju, apakah peradaban kita harus mundur?
Di era globalisasi seperti sekarang, “paradigma hitam-putih” seperti itu bukan hanya kuno, tetapi juga kontraproduktif untuk kemajuan peradaban.
Namun, seburuk apakah kepentingan individu? Sampai-sampai para pejabat ketika menyebut dirinya pun lebih suka menggunakan kata “kami” alih-alih “saya”. Seperti menegasikan adanya “keminderan” sehingga butuh kolektifitas untuk dapat dipercaya. Atau mungkin, kata “kami” menyimpan pretensi untuk lepas dari tanggung jawab. Sebab “kami” bersifat jamak, dan ketika kebijakan yang dibuat oleh pejabat gagal, berarti bukan karena salah pejabat sebagai pengambil keputusan saja, karena ada orang lain yang turut menyumbang kegagalan tersebut.
Adam Smith yang dijuluki bapak kapitalisme modern pernah memberikan sebuah gambaran, jika ada sepuluh orang mati di China, anda yang ada di Inggris akan bisa tetap tertidur nyenyak. Berbanding terbalik ketika jari kelinking anda terluka dan cidera. Anda akan begadang semalaman karenanya.
Hal tersebut bukan karena anda tidak memiliki empati, atau lebih mementingkan kelingking dari pada nyawa sepuluh orang, tetapi disebabkan karena segala hal pasti dilihat dari kacamata individu.
Atau dengan contoh lain, adakah seorang penjual yang benar-benar ingin membantu pelanggan? Atau motif utama di balik dia berdagang itu adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri? Kita sudah tahu jawabannya. Kecuali ada pedagang kurang waras yang berteriak, “ayo ambil daganganku, aku tidak ingin mencari untung, tetapi aku mencari rugi”.
Jadi, sikap individual bukan hanya sekedar konsepsi, tetapi memang sebuah kenyataan alamiah.
Kita tahu, memaksakan setiap orang seperti pedagang nomor dua di atas, yang mengingkari fakta adanya kepentinan individu, dan hanya mengakui kepentingan kolektif, pada akhirnya akan bernasib seperti China oleh Mao, Uni Soviet oleh Lenin, dan Filipina oleh Pal Pot.
Monumen sejarah itu menjadi indikasi bahwa kita selalu gagal menciptakan masyarakat yang berisi “manusia super hero”. Manusia yang rela melakukan segalanya demi kehidupan yang ideal. Kehidupan dengan masyarakat tanpa ada ketimpangan.
Namun sampai dewasa ini, masyarakat kita masih sering sekali menggerus hak individu di atas namakan kepentingan identitas kelompok, demi agama, demi organisasi, demi tradisi, dll. Dan tentu saja, hal itu sebenarnya membingungkan.
Bukankah sebuah konsep abstrak, tidak akan mungkin mempunyai kepentingan? Dan bukankah manusia sebagai subjek, yang menjadikan ide abstrak menjadi manifes-lah yang membuat manusia memiliki kepentingan-kepentingan?
Demi mencapai perdamaian, kita membinasakan puluhan juta orang. Demi terjaganya eksklusifitas iman, kepercayaan bersebrangan harus disingkirkan. Demi pertumbungan ekonomi meningkat, hutan adat masyarakat rela dibabat.
Kata “demi” jika disandingkan dengan segala hal yang imajiner, dalam konteks ini hanya berperan sebagai dalih hipokritis. Sebab yang menjadi korban selalu pihak yang lemah, yang minoritas, yang miskin, yang tidak menguntungkan. Dan pihak selalu yang dibela adalah mereka yang kuat, yang mayoritas, yang kaya, yang menguntungkan.
Selanjutnya, identitas individu justru diperkosa. Semuanya dilakukan dengan mengatas namakan massa. seolah bangsa ini tidak mengenal eksistensi individu seperti Descartes dengan cogito ergo sum atau Nietszshce dengan uebermansch-nya.
Bukankah mereka yang dibasmi, mereka yang disingkirkan, mereka yang dicampakkan, mereka yang menjadi korban demi “kepentigan kelompok”, juga sama-sama manusia yang merdeka? Kita seperti tidak punya landasan kultural dan intelektual yang memposisikan individu setara dengan identitas kolektif atau institusi, kecuali raja; hanya raja atau sejenisnyalah yang dianggap “ada” (being), layaknya diktum sabdha pandhita ratu.
Namun dari sisi sosial dan keniscayaan keterbatasan manusia sebagai individu, jika meminjam Radhar Panca Dahana, kita sejatinya adalah “diri yang retak”. Diri yang senantiasa bergerak mencari keutuhan, tidak habisnya, keutuhan yang diikat oleh “serpihan lain” di sekeliling. Kita rapuh dan parsial sebagai individu, lalu mencari kekuatan dan keutuhan lewat kelompok.
Dan menurut penulis sendiri, juga tidak bisa dipungkiri, dalam sejarah Indonesia kita, kolektivitaslah yang pada akhirnya menciptakan integrasi di antara keragaman (suku) bangsa.
Penulis tahu, ini kontradiktif. Namun pertanyaannya adalah, bisakah kita membangun kembali keabsahan indivitu tanpa mengahancurkan identitas kolektif?
Tentang penulis: Ramadhan Ega S. Lahir di Blora, 19 November 2002. Pendidikan terakhir SMA N 1 Jepon lulusan tahun 2021. Saat ini aktif sebagai ketua PAC IPNU Jepon dan dewan pembina Forum OSIS Blora.
*Opini di atas merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Bloranews.com