fbpx

WARGA BLORA JADI KORBAN MAFIA TANAH

WARGA BLORA JADI KORBAN MAFIA TANAH
Ilustrasi

Blora –  Imam (46) warga Kelurahan Tambakromo Kecamatan Cepu Kabupaten Blora menjadi korban dugaan penipuan dan praktik mafia tanah. Ada tiga orang yang dilaporkan dalam kasus ini ke Polsek Cepu, yakni E dan D, warga Jakarta, serta S yang mengaku sebagai pengacara yang beralamatkan di Semarang.

 

WARGA BLORA JADI KORBAN MAFIA TANAH
Ilustrasi

 

Melalui kuasa hukumnya, Darda Syahrizal menjelaskan bahwa kliennya mengetahui hal itu ketika hendak mendaftarkan objek tanah di Kelurahan Cepu yang diklaim milik Imam sebagai ahli waris untuk keperluan sertifikat tiba-tiba sudah atas nama orang lain. Padahal sebelumnya, tanah tersebut belum ada sertifikatnya. Lurah Cepu enggan menandatangani berkas sporadik, karena ada pihak lain yang mengaku telah memiliki hak atas tanah tersebut. Namun, ketika diminta untuk menunjukkan bukti kepemilikan sertifikat atas tanah tersebut, Lurah Cepu tidak memberikannya.

“Awalnya, saya kesana bulan Januari 2021 belum ada bukti fotocopy sertifikat dari pihak E dan D yang dipegang oleh Lurah Cepu. Tapi, baru minggu terakhir bulan Februari, tiba-tiba ada kabar, objek tanah tersebut sudah menjadi tiga sertifikat. Ini menjadi kejanggalan berikutnya,” ujar Darda. (08/03)

Ketika di cek di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Blora, lanjut Darda ternyata belum ada sertifikat tanah atas nomor persil dari C Kelurahan Cepu tersebut.

Darda juga pernah menanyakan kepada Lurah Cepu tentang surat kuasa S sebagai pengacara terlapor. Namun, Lurah Cepu mengaku S tidak pernah menunjukkan legalitasnya sebagai seorang pengacara maupun surat kuasa.

“Ini patut diduga adanya tindak pidana penipuan dengan penyampaian berita bohong kepada Lurah Cepu. Lalu Dugaan pemalsuan berupa sertifikat tanah, serta orang yang mengaku-aku sebagai pengacara,” tambah Darda.

Darda menegaskan akan terus melanjutkan kasus ini untuk mendapatkan tanah yang menjadi hak kliennya.

Sementara itu, Lurah Cepu Endah Ekawati tidak menampik adanya pihak lain yang mengakui tanah yang sedang disengketakan. Dirinya mengaku melihat secara fisik ketiga sertifikat tanah tersebut melalui foto di handphone. Eka beralasan enggan memberikan tanda tangan untuk pengurusan sertifikat kepada pelapor karena tanah tersebut masih disengketakan.

“Informasi yang saya dapat, bahwa objek tanah itu sudah menjadi tiga bagian. Saya tidak berpihak (siapapun), hanya menerapkan prinsip kehati-hatian.” Jelasnya.

Menurutnya, prinsip kehati-hatian dan kepatutan menjadi pedoman dalam setiap pelayanan administrasi kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kesalahan, terutama dalam pengalihan kepemilikan sampai ada putusan pengadilan yang sah dan tetap. (Jay)