KARANGPACE – KLOPODUWUR, BANJAREJO( 14 / 11 / 2015 ) Seperti aktivitas warga Karangpace pada umumnya, sore itu Mbah Lasiyo sedang berada di pekarangannya untuk menyiangi jagung yang ditanaminya beberapa minggu lalu. Usianya yang telah lanjut tidak membuat ingatan beliau tentang sejarah leluhurnya pudar. Sering ditemui banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa yang berkunjung ke kediamannya, para akademisi yang sedang melakukan penelitian tentang laku samin sampai para tokoh politik dan tokoh pemerintahan. Dari tingkat Kabupaten Blora sampai orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo sendiri pernah merasakan jamuan dan sejuknya petuah beliau. Tokoh samin ini adalah Mbah Lasiyo, keturunan dan penjaga adat samin sikep warisan Sang Suro Samin.
Secara formal, Mbah Lasiyo adalah pemimpin dari Paguyuban Samin Sikep “Manunggal Rasa”. Mbah Lasiyo menghabiskan masa kanak – kanak dan remaja di dukuh Klopoduwur, desa Klopoduwur. Menjadi tetua adat setelah beliau menikahi istri tercinta, Mbah Waini. Pada saat itu Mbah Lasiyo berusia tiga puluh lima tahun. Kepada Bloranews.com, beliau berpesan agar selalu memelihara tali persaudaraan dan jangan berpecah – belah. Sebuah nasehat yang tepat untuk masa – masa ini, masa pemilihan Bupati Blora.
Mbah Lasiyo lahir di dukuh Klopoduwur, Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo kabupaten Blora lima puluh sembilan tahun silam. Menikah dengan tambatan hatinya, Mbah Waini (55) dan dikaruniai dua orang putera. Wakiyono ( 35 ) dan Sariyono ( 30 ), keduanya tinggal di dukuh Karangpace bersama sang ayah tercinta. Menikmati masa senja dengan melakukan aktivitas kegemarannya, menggembala sapi dan menikmati kopi di warung langganannya. Setiap hari, Mbah Lasiyo memiliki jam – jam khusus untuk ngopi. Pagi hari sebelum berangkat ke sawah, siang hari pada waktu zhuhur dan sore hari selepas menggembala sapi.
Dipercaya oleh para pelaku sikep sebagai tetua sejak Mbah Lasiyo berusia tiga puluh lima tahun. Dengan fasih Mbah Lasiyo bertutur tentang silsilah Samin yang mengalir pada dirinya. “ dahulu kala, ada tiga pemuda seperguruan. Mereka adalah Suro Sumanto, mengembangkan ajarannya di Pulau Bali, Suro Sentiko, membina masyarakat di Kedungtuban, Kradenan danm Randublatung. Dan Suro Samin, nah, Suro Samin inilah yang memiliki nama lain Mbah Engkrek”.
Jika diurut ke atas, maka silsilah Mbah Lasiyo adalah sebagai berikut. Mbah Lasiyo putera Mbah Lasiban putera Mbah Rasiman ( Mbah Godeg ) putera Mbah Engkrek alias Suro Samin. Seperti Mbah Engkrek, leluhurnya, Mbah Lasiyo tetap menjaga keluhuran budi yang telah di wariskan dari generasi ke generasi. Mbah Lasiyo menceritakan bahwa pada masa penjajahan kolonial, Mbah Engkrek melawan kekejaman kolonial dengan menggunakan permainan kata – kata. Namun dalam bermain kata ini, Mbah Engkrek tidak pernah berdusta. “Misalnya seperti ini, ketika Mbah Engkrek ditanya oleh para antek kolonial dari mana dan mau ke mana, beliau menjawab dari belakang dan mau ke depan. Dengan jawaban seperti itu, para antek kolonial merasa jengkel dan bingung” jelas Mbah Lasiyo.
Kakek tiga cucu ini berpesan agar warga masyarakat senantiasa berpegang teguh pada Panca Sesanti (Lima Semboyan Kehidupan) dan Panca Wewaler ( Lima Aturan Kehidupan) seperti yang telah dipesankan oleh para leluhur. (SA 11 bnc)