Kekalahan pasukan Kadipaten Jipang Panolan oleh pasukan dari Kadipaten Pajang mengakibatkan pendudukan wilayah Jipang oleh orang Pajang. Adapun yang kemudian menduduki Kadipaten Jipang adalah Pangeran Benawa, putra Raja Pajang. Atas kekalahannya tersebut, laskar Jipang yang masih setia tetap melakukan kegiatan di sekitar Jipang Panolan.
Di bagian utara wilayah Jipang, dikenal seorang yang sangat taat beragama dan cukup disegani bernama Kyai Anggamaya. Beliau berasal dari Tuban. Kedatangan Kyai Anggamaya ke wilayah tersebut atas permintaan pengikut setia Arya Penangsang.
Kyai Anggamaya diminta untuk membantu membangkitkan kembali kekuatan. Padahal, sebenarnya ada maksud lain dibalik permintaan tersebut. Kyai Anggamaya yang karismatik tersebut akan dijadikan alat untuk merongrong ketenteraman di Kadipaten Jipang Panolan.
Kyai Anggamaya dikenal sebagai seorang yang saleh dengan pengikut yang banyak. Berkat keramahan dan kepiwaiannya dalam menyebarkan agama Islam, ia mampu mengajak banyak orang untuk menjadi pengikut.
Wilayah utara yang berkembang pesat tersebut dinamai Desa Sambong. Adapun nama “Sambong” berasal dari kata sambongan, yang artinya bendungan.
Dikisahkan, pada waktu pertama bermukim di desa tersebut, Kyai Anggamaya dan pengikut-pengikutnya membuat bendungan. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebutnya dengan sambongan, yaitu bendungan untuk menahan air agar pada waktu musim kemarau tidak kekurangan air.
Bendungan itulah yang dapat menyambung hidup para warga karena memang air adalah kebutuhan dasar manusia. Desa Sambong begitu makmur dan berkem bang pesat setiap harinya di bawah kepemimpinan Kyai Anggamaya.
Kekacauan Di Utara Jipang Panolan
Suatu ketika, di Jipang Panolan terjadi kekacauan yang disebabkan oleh beberapa orang yang mengaku berasal dari wilayah utara. Kekacauan tersebut dicurigai sebagai bentuk pemberontakan. Pemberontakan yang cepat dan luas di wilayah utara tersebut dianggap mengancam keutuhan pemerintahan Jipang Panolan.
Akhirnya, Adipati Jipang Panolan menyatakan perang dengan Kyai Anggamaya dan pengikut-pengikutnya. Pasukan kadipaten dikerahkan untuk menumpas Kyai Anggamaya dan pengikutnya sebelum terjadi pemberontakan yang lebih besar.
Perang saudara pun pecah. Pasukan Jipang Panolan menyerang para santri Kyai Anggamaya dengan garang. Akan tetapi, pasukan Jipang Panolan kalah dan dapat didesak mundur. Para santri Kyai Anggamaya menggunakan taktik yang sangat halus dan rapi.
Tidak tampak sama sekali akan ada aksi pemberontakan di wilayah utara tersebut. Sang kyai pun meyakinkan bahwa tidak ada niat sedikit pun untuk menyerang Jipang Panolan. Namun, pihak Jipang Panolan tidak begitu saja percaya dengan penyataan kyai sepuh tersebut. Mereka tetap merasa terancam dengan bahaya laten yang mungkin saja dilancarkan oleh wilayah utara tersebut.
Panembahan Senopati Campur Tangan
Berita tentang kerisauan Jipang Panolan tersebut akhirnya didengar oleh pihak Mataram. Panembahan Senopati menyatakan, jika kekacauan di Panolan dibiarkan akan membahayakan bagi Panolan sendiri, bahkan mungkin dapat meluas ke Mataram.
Oleh karena itu, Panembahan Senopati mengirim dua orang putranya, yakni Raden Rangga dan Raden Rama untuk mengatasi masalah tersebut. Pasukan dari Mataram dipimpin oleh Ki Juru Martani yang dikenal hebat dan ahli di bidang strategi perang untuk turut menyelesaikan kerisauan di Panolan akan adanya isu pemberontakan tersebut.
Ki Juru Martani beserta dua orang putra mahkota Panembahan Senopati datang ke Jipang Panolan dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya. Setelah tahu kalau pemberontakan dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, Ki Juru Martani lalu menyelidikinya lebih serius.
Dengan keahlian luar biasa, Ki Juru Martani akhirnya tahu bahwa ternyata pemberontakan yang terjadi itu dipimpin oleh orang dari Tuban, bernama Kyai Anggasana. Ia merupakan saudara Kyai Anggamaya, tetapi bukan santri Kyai Anggamaya. Jadi, hal tersebut merupakan upaya propaganda yang sangat rapi menjadikan Kyai Anggamaya dan santrinya sebagai kambing hitam.
Lalu, Ki Juru Martani meminta Pangeran Rangga untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Akan tetapi, laskar yang dipimpin oleh Pangeran Rangga dan Pangeran Rama tidak mampu menandingi kekuatan pasukan pemberontak yang dipimpin Kyai Anggasana.
Terpaksa Pangeran Rama kembali menghadap Ki Juru Martani untuk melaporkan kejadian tersebut. Ki Juru Martani turun tangan memadamkan pemberontakan tersebut. Dalam peperangan antara Pangeran Rangga melawan Kyai Anggasana tersebut banyak sekali prajurit yang terluka bahkan tidak sedikit yang gugur.
Pangeran Rangga harus mengakui keunggulan Kyai Anggasana. Ki Juru Martani tidak terima dengan kekalahan tersebut. Lalu, dengan kesaktiannya ia menyerang Kyai Anggasana hingga tewas. Tewasnya Kyai Anggasana tersebut akhirnya diketahui Kyai Anggamaya. Sebagai seorang kakak, ia membela adiknya, Kyai Anggasana.
Pusaka Kul Buntet dan Kuthuk Buntung
Kesaktian Kyai Anggasana memang tidak sebanding dengan Kyai Anggamaya. Oleh karena itu, Kyai Anggamaya membantu adiknya agar dapat mendesak mundur pasukan pimpinan Ki Juru Martani dan dua pangeran Mataram. Pada akhirnya, Ki Juru Martani mengakui kesaktian Kyai Anggamaya yang tidak mempan oleh segala macam senjata, kecuali dengan pusaka yang dimiliki Ki Klepu dari Kapuwan.
Ki Juru Martani pun segera menghubungi Ki Klepu. Ki Juru Martani diberitahu oleh Ki Klepu bahwa Anggamaya akan sulit dikalahkan jika pusaka andalannya yang berupa “Kul Buntet” tidak lepas dari badannya.
Selain itu, walau pusaka yang berupa “Kul Buntet” sudah lepas dari badannya, ia masih tetap tidak akan mempan oleh senjata apapun jika tidak dibunuh dengan pusaka dari Pluntur Sewu yang dimiliki oleh Kyai Putat.
Untuk keperluan itu, Ki Juru Martani diminta kesediaannya mengambil pusaka di Pluntur Sewu yang berwujud Kutuk Buntung ‘anak ayam buntung’. Ki Juru Martani pun segera berangkat ke Pluntur Sewu untuk menghadap Kyai Putat guna meminta senjata seperti yang diberitahukan oleh Ki Klepu.
Ki Anggamaya Dibunuh Saat Menunaikan Sholat Asar
Setelah mendapatkan pusaka yang dimaksud, Ki Juru Martani segera mengajak Raden Rangga untuk melaksanakan tugasnya. Raden Rangga diberitahu bahwa saat yang tepat untuk membunuh Anggamaya adalah pada saat dia sedang sembahyang karena pada saat itu ia akan melepaskan semua piandel ‘pusaka’ dari badannya.
Oleh karena itu, sebelumnya Raden Rangga harus bersembunyi, jangan sampai diketahui oleh Anggamaya. Saat yang dinantikan pun tiba. Waktu itu, Kyai Anggamaya sedang menunaikan salat Asar.
Pada saat ia sedang bersujud, ketika perhatiannya hanya berpusat kepada Tuhan, Raden Rangga segera menusukkan pusaka Kutuk Buntung ke tubuh Anggamaya. Seketika Kyai Anggamaya jatuh terkapar.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia sempat meninggalkan pesan atau ipat-ipat dalam bahasa jawa. Katanya, “Eh wong sakiwa tengene Sambongan iki, sasurutku aja ana sing ngrusak Agama Islam. Yen nganti ngrusak Agama Islam bakal ora langgeng uripe, kaya aku kang bekti lan mituhu prentahe agama”.
(Hai orang-orang di sekitar daerah Sambong ini, sesudah aku mati jangan ada yang merusak agama Islam. Jika sampai merusak agama Islam bakal tidak abadi hidupnya, seperti saya yang berbakti dan menaati perintah agama).
Peninggalan Ki Anggamaya Masih Ada Hingga Kini
Sampai sekarang orang-orang di Desa Kejalen dan Sambong masih sangat percaya akan hal itu. Jenazah Kyai Anggamaya dikebumikan oleh para santrinya di wilayah Desa Sambong. Dengan wafatnya sang kyai membuat pihak Jipang Panolan dan Mataram merasa aman. Akhirnya, mereka kembali ke tempatnya masing-masing dan tidak ada lagi pemberontakan yang mereka risaukan.
Sampai sekarang sambongan atau bendungan tersebut masih ada. Di tempat itu banyak sekali ditemukan peninggalan sejarah, seperti pecahan keramik buatan Cina dan beberapa situs sejarah yang lain.
Di samping itu, di sepanjang aliran air sambongan tersebut banyak dijumpai keong yang sudah membatu yang biasa disebut kul buntet. Setiap malam Jumat Pon banyak orang membawa sesaji. Hal teristimewa dari tempat tersebut adalah kepercayaan bahwa tempat itu sangat tabu bagi orang yang bersalah dan bertabiat jahat.
Bila ada pencuri yang menjadi buronan polisi melewati makam keramat Kyai Anggamaya, pasti akan tertangkap. Begitu pula bila ada orang melakukan semedi di tempat tersebut dengan maksud yang kurang baik, pasti dirinya sendiri yang akan mendapatkan halangan.
(Disadur dari Buku CERITA RAKYAT JAWA TENGAH: KABUPATEN BLORA, Penerbit Balai Bahasa Jawa Tengah, 2017)